Rabu, 23 Juni 2010

Nasib Nelayan Tradisional Di Tengah Pro Kontra HP3

Semenjak lahirnya Undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil No. 27 tahun 2007 mengenai Hak Penguasaan Pengelolaan Pesisir (HP3) kerap menuai pro dan kontra. Lahirnya UU ini bagi sebagian pihak dianggap sebagai suatu bentuk privatisasi sumberdaya alam yang hanya akan membuat posisi nelayan tradisional menjadi semakin terhimpit. Sebagian orang lainnya, termasuk pemerintah pusat yang menyusun UU HP3 menganggap UU ini sudah tepat dan justru melindungi keberadaan nelayan tradisional.
Beberapa kalangan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih mendesak peninjauan ulang bagi UU ini. Alasan utamanya adalah karena UU HP3 akan membuat nelayan tradisional semakin miskin dengan terbatasnya akses yang mereka miliki. Persyaratan untuk mendapatkan HP3 hanya akan melahirkan persaingan yang akan menguntungkan korporasi atau badan usaha lainnya tetapi merugikan nelayan tradisional. Negara seharusnya juga memperhatikan kelompok masyarakat kecil seperti nelayan tradisional, sesuai yang termaktub dalam pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 yang berisi “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai mencapai persamaan dan keadilan”.
Sementara itu, pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan menganggap UU mengenai HP3 ini sudah cukup ideal untuk diterapkan, karena Negara juga mencantumkan hak pengelolaan bagi masyarakat adat dan nelayan tradisional. Akan tetapi, mungkinkah pada prakteknya di lapangan nelayan tradisional akan memiliki cukup modal untuk mengelola, atau membentuk badan usaha di kawasan pesisir secara mandiri? Nasib nelayan tradisional tetap belum jelas di tengah pro dan kontra UU No. 27 tahun 2007.
Pro dan Kontra HP3
Sejak kemunculannya, HP3 menjadi bahan kajian di berbagai lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan. Model privatisasi sumberdaya kini muncul bagi sektor pesisir dan laut, setelah lebih dulu kebijakan privatisasi seperti Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Hak Guna Usaha (HGU). Kehadiran UU No. 27 tahun 2007 ini tidak berjalan mulus begitu saja tanpa hambatan serta aksi menolak dari masyarakat. Kebijakan privatisasi seperti yang telah ada sebelumnya hanya akan memberikan keuntungan bagi pemilik modal yang mampu mengeksplorasi sumber daya alam dengan teknologi yang lebih canggih. Kegiatan eksplorasi yang cenderung eksploitasi ini tentunya tidak mudah dilakukan oleh masyarakat tradisional.
Pada kasus HP3 yang menimbulkan pro dan kontra, sebagian orang dari kalangan akademisi serta aktivis lembaga swadaya masyarakat menentang kebijakan HP3. Alasan utamanya ialah, rata-rata nelayan tradisional di Indonesia masih berada pada garis kemiskinan. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal seperti kurangnya modal, keterbatasan teknologi, pemakaian alat tangkap yang sedrhana, keterikatannya dengan daratan, tantangan alam, serta masih bergantung pada patron dalam hubungan produksi. Dengan adanya kebijakan HP3 yang memberikan hak pengelolaan pesisir dan laut yang terbuka bagi siapa saja, keberadaan nelayan tradisional akan semakin terhimpit. Belum tegaknya peraturan yang mengatur mengenai hak-hak serta perlindungan bagi nelayan tradisional akan memperparah kondisi ini. Nelayan tradisional mejadi miskin bukan hanya karena keterbatasan modal atau pun teknologi, tetapi juga karena kebijakan yang ada kerap kurang memperhatikan keberadaan mereka. Pertentangan lain juga timbul atas dasar pertimbangan kerusakan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi secara berlebih yang hanya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Nasib Nelayan Tradisional
Nelayan tradisional yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia tidak lah sedikit. Keberlangsungan kehidupan nelayan tradisional yang bergantung pada laut bias saja terancam atau justru akan meningkat. Nasib nelayan tradisional akan menurun dan bertambah miskin bila terbatas atau hilangnya akses bagi mereka untuk menangkap ikan karena kurangnya modal yang dimiliki untuk memperoleh hak pengelolaan penguasaan pesisir.
Keadaan ini dapat diubah apabila pihak swasta atau pengusaha yang memperoleh hak untuk mengelola dan mengembangkan kawasan pesisir melibatkan nelayan tradisional dalam pemanfaatan sumber daya. Selain itu, juga adanya dukungan dari pemerintah dengan menetapkan aturan bahwa bagi siapa saja yang mendapat hak mengelola kawasan pesisir berkewajiban untuk melakukan kegiatan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dan nelayan tradisional.
Kolaborasi bukan sekedar alat untuk mencapai kesejahteraan. Kolaborasi juga merupakan tujuan yang diimpikan nelayan tradisional untuk memperoleh keadilan dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya pesisir, tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai nelayan tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar