Minggu, 13 Desember 2015

Pinjam Meminjam (Uang)

 
 
 
 
 
"Nik, ada tetangga mau pinjam uang nih, ada nggak?"
 
Di suatu malam ibu saya bertanya hal ini pada saya. Saya bertanya mengenai nominalnya, dan setelah saya menimbang - nimbang dengan uang yang saya pegang sekarang, hanya ada satu jawaban pendek dari saya
 
"Ngga ada ma"
 
Perihal pinjam meminjam uang memang hal yang biasa bagi kita yang hidup bertetangga, hidup berteman. Kita terbiasa meminjam uang teman, mengambil pinjaman di bank, mengambil pinjaman melalui fasilitas perusahaan, fasilitas koperasi, pegadaian, dan lain - lain, you named it! banyak sekali cara untuk mendapatkan uang pinjaman.
 
Saya tidak akan bilang bahwa meminjam uang itu tidak baik atau tidak benar, sah - sah saja asalkan tidak menjadi kebiasaan. Nah, ini "kebiasaan". Kalau perihal pinjam meminjam uang sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan cenderung longgar mengelola keuangan. Saya pikir, baik yang meminjam maupun yang memberi pinjaman juga harus sama - sama belajar, agar perihal pinjam meminjam ini tidak menjadi kebiasaan.
 
Saya ingat waktu masa kuliah dulu, ketika uang bagi saya begitu tidak mudah didapat. Saya harus mencari beasiswa, mengajar di sana sini, sampai sempat mencoba berjualan agar saya dapat bertahan hidup di kampus (bisa makan setiap hari, bisa bayar kosan, juga bisa bayar uang kuliah). Saya sadar bahwa saya memiliki kebiasaan boros. Makan seenaknya, seakan hari esok tidak pernah diciptakan, main semaunya, nonton film di bioskop sekenanya, dan perilaku boros lainnya. Terkadang saya merasa saya tidak tahu diri, sudah tidak punya uang banyak, boros pula. Karena kebiasaan saya yang boros inilah, di tengah bulan biasanya kantong saya sudah kembang kempis. Apa jadinya kalau kantong sudah kembang kempis ? Saya mulai makan mie instant hampir setiap hari, makan di warteg paling murah, rajin puasa Senin Kamis, terkadang makan hanya sekali. Bagaimana kalau saya sudah tidak tahan hidup seperti ini ?
 
Saya akan mulai menghubungi sahabat saya satu per satu, untuk meminjam uang. Saya hapal betul siapa yang akan memberikan, dan siapa yang tidak. Ada satu sahabat yang tidak pernah mau meminjamkan uangnya pada saya. Apakah dia pelit ? Tidak, Tidak punya uang ? Tidak mungkin. Karena dia adalah sahabat saya, jadi saya tahu betul alasan ia tidak meminjamkan saya uang. Ia tidak mau saya punya kebiasaan tidak bijak mengelola uang, dan kemudia menggampangkan untuk meminjam uang dengan sahabat. Sahabat saya yang satu ini selalu berasalan tidak punya uang di ATM, padahal saya tahu dia punya. Tujuannya hanya satu, ia tidak mau saya punya kebiasaan meminjam. Memang begitulah gunanya sahabat, dia tahu betul bagaimana caranya membantu saya. Alih - alih memberikan pinjaman uang, dia justru secara tidak langsung mengajarkan saya untuk menjadi orang yang bijak dalam mengelola uang.
 
Berbekal pengalaman tersebut, kini saya menjadi orang yang agak kaku dalam mengelola uang. Pelit ? Alhamdulillah tidak, apalagi kalau untuk orang lain dan keluarga, saya termasuk orang yang tidak pelit tapi juga tidak terlampau royal (karena uangnya masih belum banyak hehe). Untuk keluarga, semua sudah saya atur sesuai porsinya. Untuk mama sekian, untuk adik sekian, tabungan kuliah adik sekian, dana cadangan sekian. Kalau mereka merasa kurang, bolehkah minta uang lagi ke saya ? Tentu boleh, untuk kondisi tertentu atau ada pengeluaran yang tidak terduga. Apakah boleh meminta uang pada saya begitu saja, tiba - tiba di luar porsi yang sudah saya berikan ? Oh, tentu tidak. Saya tidak ingin menjadi mesin ATM bagi keluarg. Kejam ? Mungkin, tapi bagi saya yang terkejam bukanlah tidak memberikan uang, tapi membuat anggota keluarga bergantung pada saya untuk urusan finansial. Saya ingin keluarga saya juga bisa mandiri dalam urusan finansial, jadi saya tidak ingin membuat mereka bergantung pada saya. Sedikit demi sedikit saya sisipkan ilmu tentang bagaimana mengelola uang serta menabung.
 
Alhamdulillah, selain di keluarga saya memang tidak pernah ada kebiasaan meminta, kami pun hidup sederhana. Dua puluh enam tahun saya dibesarkan, tidak pernah papa dan mama memberikan kemewahan di luar batas kemampuannya. Prinsip mama hanya satu, kebutuhan primer terpenuhi semua dan tidak ada hutang yang menggantung. Bersyukur sangat saya besar dengan nilai - nilai seperti ini.
 
Kembali lagi ke perihal pinjam meminjam uang, saya tidak mengharamkan, karena terkadang saya menjadi pelakunya, asal tidak menjadi kebiasaan. Bagi yang suka meminjamkan, boleh sekali - sekali menolak, lihat - lihat dulu alasannya. Bagi yang suka meminjam, percayalah jika permintaan kita ditolak, bukan berarti teman kita pelit atau tidak mau meminjamkan. Itu artinya hanya kita perlu lebih bijak mengelola uang.
 
"Uang bukanlah segalanya, tapi segalanya memang butuh uang =p"

Sabtu, 14 November 2015

Home

 
 
Ditemani rintik hujan di Kota yang berjarak sekitar 1.948 kilometer dari rumah. Saya merayakan kebahagiaan, bersama diri saya sendiri.
 
Saya selalu rindu rumah, selalu suka dengan rumah, meskipun baru setahhun belakangan ini saya benar - benar menetap di rumah. Rumah bagi saya adalah tempat hati saya berada, tempat saya memulai mimpi, tempat saya berkeluh, berpeluh tanpa ada hakim atau orang yang mencibir.
 
Seperti blog ini, ini adalah rumah saya. Saya berpikir untuk pindah rumah beberapa waktu yang lalu, karena terlalu banyak kenangan di sini. Saya mencoba mencari suasana baru, membuat kenangan dan menuliskan mimpi - mimpi yang baru. Namun, saya rasa saya mengalami kesulitan beradaptasi di rumah baru. Saya tidak betah, terasa asing. Saya menyadari, hati saya ada di sini.
 
Dan kini, saya kembali ke rumah ini. Untuk berbagi cerita, tentang cinta, harapan, mimpi, dan hal konyol serta remeh yang tak perlu malu untuk diceritakan.
 
Saya menyadari, hati saya ada di sini. Sejauh apa pun saya pergi, saya selalu kembali ke rumah lama.
 
Fuuhh, gagal move on =p

Minggu, 19 Juli 2015

Pindahan

Sudah lima tahun saya meracau di rumah ini. Menuangkan segala kisah mulai dari kisah cinta paling konyol, kebodohan - kebodohan penting, dan juga mimpi - mimpi. Sekarang saatnya saya pindah ke rumah yang baru. Silahkan jika mau berkunjung untuk sekedar membaca diam-diam atau membangun sebuah diskusi.

Rumah baru ini tetap saya namakan ruang hati. Namanya ruang hati, kamu cukup berkunjung sampai teras rumah, belum boleh masuk sebelum saya izinkan :). Di teras, kamu bebas melakukan apa pun.

Selamat berkunjung !

https://kicaumonica.wordpress.com/

Selasa, 16 Juni 2015

A Single Step


There will always be a single step to start something in your life. A single step that bring you to a big journey in your life, there will always be the first time in your life. These are 10th of my first time that bring me into the bigger journey :

1. First time I got a perfect score for math in my final exam when I am in Elementary School.
2. First time I fell in love when I was in 2nd grade of Junior High School
3. First time I lead an organization team when I was in Senior High School
4. First time I learned to ride a motorcycle
5. First time when someone trust me to lead made a bulletin when I was in Senior High School
6. First time when everyone trust me to wrote a hot topic for the University Newspaper
7. First time when I lead 52 smart Pengajar Muda Indonesia Mengajar to conducted a big event, but the leaders only gave me 3 days.
8. First time when I spoke in front of experienced teacher, and trained them, and make them dance with me
9. First time when I spoke in front of 24th strangers in a storytelling class about my dreams that came into reality
10. First time when I had to present my project in front of Directors, and Vice President and I had to speak English, full (that was my big fear).

There will always be the first time, if you want to jump high and reach your dream. Sometimes, I failed in my first time. The most important thing is, I never give up. I believe in second chances, and always try and try again to chase my dream.

The hardest part is when I want to start a single step. Once I brave to start a single step, everything come up and followed me smoothly.

All I have to do, and also you is just start. No matter how scare it is, how hard it is, how far it is. Just start, and all of the chances will follow you. Sometimes you fail and lose, but that's okay. As long as it doesn't kill you, it means no problem. Every obstacle and problem that you face will make you stronger and bigger.

Right now, I don't know whether I wrote this notes with right grammar or not, as long as you can understand about my writing. That's Okay :). At least, I tried to start.


Hello Stranger #2

Bertemu dengan orang asing adalah hal yang lumrah bagi saya yang senang bepergian sendirian. Suatu kelebihan, juga bisa menjadi kelemahan bahwa saya sangat mudah percaya dengan orang lain. Seolah hati saya tahu, bahwa orang ini, meskipun asing bagi saya, saya cukup yakin bahwa ia adalah orang yang baik. Saya percaya, Tuhan akan selalu melindungi umatnya. Saya sangat percaya akan hal itu, sehingga saya kerap bertemu, dan diberikan pertolongan oleh orang asing yang saya temui di jalan. Seperti misalnya, ada mas-mas baik hati yang saya kira tukang ojek, mengantar saya sampai jalan dekat rumah ketika saya terjebak banjir di tol Bekasi Timur, Ia tidak mau saya bayar, dan tidak meminta nomor HP saya! sungguh, Ia tulus, bukan MODUS. Atau, mas-mas baik hati yang memberitahu saya jadwal kereta selanjutnya ketika saya ketinggalan kereta di Cirebon. Dan, yang baru saja saya alami hari Sabtu (13/6) kemarin. Pemuda baik hati yang baru saja saya kenal di kelas Storytelling, mengantar saya dari Kebayoran Baru sampai Bekasi, karena jadwal yang molor, akhirnya saya pulang agak malam. Tidak ada lagi angkutan umum dari Kebayoran Baru ke Bekasi di atas jam 9 malam kecuali taksi. Saat itu saya sedang melakukan penghematan hehe, bahkan saya naik Go-Jek menggunakan fasilitas cashless. Sungguh, saya sangat mengontrol pengeluaran uang cash saya di hari itu :). 

Terkadang, kekhawatiran-kekhawatiran itu dibentuk oleh lingkungan. Pemberitaan yang negatif, atau sikap terlalu protektif dari orang yang sayang dengan diri kita. Saya percaya ada banyak orang baik, yang mungkin dihadirkan untuk membantu kita dengan tulus. Saya percaya hukum tarik menarik. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Sekali menanam kebaikan, Tuhan akan membalas kebaikan kita dengan cara yang tidak di sangka-sangka, dari arah yang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Terkadang, hal buruk datang, karena kita menariknya tanpa sengaja. Kita terlau takut, kita membayangkan hal-hal yang menyeramkan, ditambah penguatan dari pemberitaan di sana sini.

Namun, bukan berarti menjadi kebablasan menjadi begitu ramah dengan orang yang baru dikenal. Saya selalu membatasi diri beriteraksi dengan orang lain di tempat umum. Saya hampir selalu menolak jika orang asing bertanya pada saya. Entah kenapa, hati saya seakan tahu mana yang sekiranya "aman" dan "tidak" jika saya bertemu dengan orang asing. Ya, hati saya seolah bisa memilah. Mungkin Tuhan turut membantu saya dalam menentukan dengan siapa saya harus beriteraksi.

Terima kasih, untuk orang asing yang saya temui dan dengan tulus membantu saya. Sampai saat ini tidak ada yang berlanjut menjalin komunikasi dengan saya. Mereka hanya datang, membantu, lalu pergi melanjutkan hidup masing-masing :).






Minggu, 07 Juni 2015

Hebat


Hebat adalah ketika kamu mampu mengalahkan dirimu sendiri
Hebat adalah ketika kamu mau meminta maaf atas kesalahan yang sudah kamu buat
Hebat adalah ketika kamu bersedia memberi maaf dengan hati lapang pada seorang pendosa
Hebat adalah ketika kamu mau menjalin silaturahmi kembali dengan orang yang paling kamu benci

Orang yang hebat adalah orang yang menang melawan diri serta egonya sendiri
Tidak perlu duel di atas ring
Hebat adalah mau merendahkan hati untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf
Hebat adalah mau memberi meski sedikit
Hebat adalah menahan diri untuk tidak mencela
Hebat adalah berani mengatakan yang benar
Hebat itu bertanggung jawab atas setiap tutur, laku dan pikir



Senin, 01 Juni 2015

Selesai dengan Diri Sendiri


Lima tahun lalu, usai menimba ilmu di perguruan tinggi, saya merancang perjalanan berikutnya, melanjutkan idealisme yang tidak terbendung. Saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan dan saya hanya ingin melakukan hal-hal yang saya sukai. Saya yang terlahir dengan kepala yang sangat keras tidak pernah bersedia menjadi kuli untuk membangun mimpi orang lain. Saya memiliki mimpi saya sendiri, menjadi seorang guru, memiliki perpustakaan pribadi, dan memiliki usaha bimbingan belajar. Semua kegiatan yang butuh cukup banyak uang, namun saya belum memilikinya.

Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa saya bisa bekerja di Jakarta, di dalam sebuah gedung pencakar langit dan bekerja di balik kubikel mini. Yang saya impikan adalah berkeliling Indonesia dengan ransel penuh buku dan saya bisa berbagi dengan anak-anak di seluruh penjuru negeri. Yang saya impikan adalah melihat senyum dan tawa mereka. Impian saya terlalu luas, saya hanya ingin berbagi dan melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi orang lain.

Hingga suatu hari di tahun 2011, saya mengajukan rencana hidup saya seusai kuliah ke hadapan Ibu saya. Ibu adalah seseorang yang sangat demokratis, beliau memberikan kebebasan dan kepercayaan penuh pada saya. Saya boleh memilih menjadi apa pun asalkan itu untuk kebaikan. Tapi kali ini, Ibu saya memiliki banyak pertimbangan saat memberikan izin. Saya mohon izin untuk bisa bergabung sebagai pengajar di Indonesia Mengajar. Saya ingin mengabdikan diri saya untuk bisa mengajar anak-anak di ujung-ujung Indonesia. Ibu saya berpikir agak panjang untuk hal satu ini. Diskusi penuh argumen pun kami lakukan hampir setiap malam menjelang tidur. Entah, ada sesuatu yang menahan restu ibu. Saya, tentu dengan hati dan kepala yang keras tetap berjuang untuk mendapatkan izinnya. Dan kali ini, saya lagi-lagi menang. Ibu merestui keputusan saya.

Ada satu orang lagi yang harus saya yakinkan hatinya. Ia lah, laki-laki harum rumah yang selalu menemani dan mendukung setiap langkah saya. Seperti Ibu, untuk impian saya yang satu ini, Ia agak berat untuk merestui. Berbagai argumen logis saya bangun untuk meyakinkan hatinya melepas saya. Setelah berbagi ratusan malam penuh argumentasi, Ia pun menyerah. Saya, lagi-lagi menang kali ini. 
Dengan penuh rasa puas karena saya semakin dekat dengan impian saya, pada tahun 2012 saya berangkat menjadi Pengajar Muda selama kurang lebih 1,5 tahun. Hampir setiap orang yang tahu bahwa saya berhasil menjadi Pengajar Muda menyampaikan rasa salutnya pada saya. Saya bangga, bak seorang prajurit yang dikirim ke ujung perbatasan Indonesia, saya merasa sudah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Terkecuali Ibu saya, beliau biasa-biasa saja menanggapi kepergian saya. Beliau hanya titip pesan, jika saya sudah pulang nanti, saya harus berbakti pada keluarga. Saat itu, dengan hati yang masih angkuh, saya tidak mendengar dengan baik pesan Ibu, Saya terlarut dengan bayang-bayang senyum anak-anak yang merekah sambil berlarian tanpa alas kaki.

Ada sebuah argumen yang selalu saya debatkan dengan dia laki-laki harum rumah, adalah bahwa seoarang pemimpin haruslah selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan diri sendiri berarti memiliki kemampuan untuk memberikan solusi bagi masalah-masalah yang ada di sekitar, tidak lagi berkutat dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Menjadi bagian dari solusi, bukan justru memperkeruh masalah. Dia, juga dengan idelisme nya sendiri percaya bahwa keluarga adalah yang utama, bahwa kita harus memberikan yang  terbaik bagi keluarga kita baru memberi untuk orang lain. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan hal itu. Saya percaya, jika ingin berbagi, ya berbagi saja. Tidak perlu pikir apa-apa. Di titik ini saya dan dia sering tidak bertemu. Sampai pada akhirnya, saya berpikir bahwa saya sudah selesai dengan diri saya sendiri karena saya sudah aktif membantu orang lain, mengikuti gerakan sosial ini itu, terlibat menjadi relawan di sana-sini dan sudah bisa memiliki penghasilan dan membiayai kuliah saya sendiri. Saya, pada saat itu merasa bahwa saya adalah orang yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Saya bangga, bisa selesai dengan diri saya sendiri.

Bertahun saya terlelap di dunia mimpi, saya terbangun di pertengahan tahun 2014. Saat saya sudah kembali ke Jakarta, kembali pulang ke rumah setelah hampir 8 tahun sejak saya kuliah di Bogor, saya jarang sekali tinggal dalam waktu cukup lama di rumah. Saya bertahan di rumah, meskipun saya harus bolak-balik Bekasi-Kota ketika mulai magang di BNI, saya bertahan untuk tidak kos. Beberapa bulan di rumah, baru saya menyadari bahwa banyak sekali hal terjadi di rumah yang saya tidak ketahui. Saya tidak sadar bahwa adik saya sudah mulai masuk masa persiapan untuk kuliah, saya juga tidak memantau bagaimana adik saya berteman, saya tidak tahu bahwa ayah dan ibu semakin hari semakin lelah. Saya sadar, saya sudah meninggalkan mereka terlalu lama. Saya terlalu asik mengejar mimpi-mimpi saya. Dengan angkuh merasa bahwa saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Nyatanya, ada fase-fase yang belum selesai. Mungkin di saat saya memutuskan untuk berangkat menjadi Pengajar Muda, di saat itu saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Tapi di fase ini, saat saya kembali bersama keluarga. Ada banyak hal yang belum selesai.

Mengingat kembali pesan ibu saya saat saya berangkat menjadi Pengajar Muda, bahwa saya harus berbakti pada keluarga. Ya, saya sadar akan hal itu. Keluarga saya belum selesai, saya harus memberdayakan ibu dan ayah saya menjadi manusia mandiri, kelak adik saya juga haru mandiri. Saya harus mendorong mereka. Ketika saya berbangga hati bahwa saya berhasil memberdayakan masyarakat di Tulang Bawang Barat, di saat yang sama saya juga runtuh, mengapa saya tidak memulainya di keluarga saya sendiri?

Kini, saya memilih untuk menepikan sedikit ambisi saya. Saya menjalani hidup "normal" bekerja di sebuah perusahaan swasta, di balik sebuah kubikel di dalam gedung pencakar langit. Hal yang sungguh bukan impian saya, namu bisa membahagikan keluarga saya. Saya tetap aktif menjadi relawan gerakan sosial, saya tetap aktif mengajar, tentu dengan porsi yang saya kurangi sedikit.

Selesai dengan diri sendiri ternyata tidak cukup satu kali di lakukan. Saya percaya, bahwa di setiap fase kehidupan saya akan bertemu dengan tantangan yang memaksa saya untuk selalu menuruti impian saya sendiri dan tidak mengindahkan orang lain, atau saya bersama-sama dengan orang-orang di sekitar saya bergandeng tangan untuk selesai dengan diri sendiri, dan mulai memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.

Saya sungguh-sungguh bersyukur Tuhan memberikan banyak kesempatan untuk belajar, memberikan hal-hal baik, dan membantu saya menjaga idealisme saya. Saya bersyukur dikelilingi orang-orang baik.

Untuk kamu, laki-laki yang harumnya seperti rumah. Ternyata kita belum selesai dengan diri kita sendiri. Mungkin ini saatnya untuk selesai dengan diri sendiri, baru berani memutuskan untuk melangkah bersama.







Minggu, 03 Mei 2015

Hello Stranger #1

Percayalah, melakukan sebuah perjalanan bagaikan sebuah candu, tapi tidak bila perjalanan itu dilakukan tanpa perencanaan yang matang, sedang datang bulan, serta ada rindu yang menggantung. Sungguh, sebuah komposisi yang kacau. Namun, dibalik semua kekacauan yang ada, tersembunyi suatu makna yang indah, layaknya sebuah lukisan abstrak yang dibuat apa adanya, berantakan namu tetap mengandung keindahan.

Saya melakukan perjalanan sendirian untuk kesekian kalinya, namun kali ini tanpa perencanaan yang baik. Seperti misalnya, saya mau pergi tanggal 1, tapi saya belum cetak tiket sama sekali, saya mengandalkan injury time. Begitu juga dengan packing, saya baru packing H-2 jam sebelum berangkat. Sungguh!! ini betul-betul bukan cara saya menyiapkan perjalanan. Mengenai hasilnya? sudah tentu, tanpa perencanaan yang matang, saya seperti layangan putus mencari arah angin. Terburu-buru melakukan ini itu.

Saya baru ingat, kalau 1 Mei adalah hari di mana buruh di Indonesia melakukan unjuk rasa, sehingga imbasnya pada hari itu, lalu lintas tidak terkendali. Ditambah lagi hari buruh kali ini berdempetan dengan akhir pekan, lengkap sudah perjalanan saya kali ini berbarengan dengan arus orang-orang mudik. Jadwal KRL yang kacau, mesin cetak tiket mandiri yang penuh disesaki orang menjadi awal ketidaksesuaian rencana perjalanan saya.

Fiuh...kereta saya berangkat dari Ps. Senen menuju Cirebon pukul 16.30, dan saya baru tiba di stasiun Ps.Senen tepat pukul 16.30, tepat ketika kereta saya berangkat.Terdengar sayup petugas dari mesin pengeras suara memberi tahu bahwa kereta yang akan saya tumpangi akan segera berangkat. Saya pasrah, saya sadar saya sudah melakukan kesalahan. Saya memutuskan untuk mengantri di loket, berharap masih ada tiket kereta yang tersisa. Karena saya sudah terlanjur pamit, pantang rasanya untuk kembali pulang ke rumah, lalu bilang "saya ketinggalan kereta", sunguh ini sama sekali ga keren.

Tibalah saya pada giliran saya membeli tiket, antrian saat itu cukup pendek, tanpa pikir panjang saya langsung memesan kereta menuju Cirebon untuk pemberangkatan berikutanya. Saya hendak membayar menggunakan kartu debit karena saya tidak membawa banyak uang cash. Dan, yak...menit demi menit berlalu, pembayaran saya ternyata tidak bisa diproses karena ada gangguan jaringan pada mesin kartu debit BCA. Saya pun tidak punya pilihan lain selain mengambil uang cash dan mengantri ulang.

Setelah kembali dari menarik uang cash, antrian sudah mengular lebih panjang, dan saya mulai gusar tidak tenang. Seorang laki-laki mengenakan seragam Angkatan Darat menanyakan tujuan kepergian saya yang kemudian saya jawab sekenany karena saya sedang tidak mood berbasa-basi. Mas-mas ini sepertinya tidak bisa membaca bahasa tubuh saya sedang enggan diajak bicara, dia kemudian melanjutkan percakapan "ooh..mau ke Cirebon? kenapa ndak naik bus aja mba? Teman-teman saya yang ke Cirebon tadi pada berangkat naik bus." saya jawab sekenanya juga "macet mas." Mamase hanya membalas dengan "ooohhh" panjang. Lalu ia melanjutkan lagi, "Kuliah to? atau kerja"
"Kerja mas" jawab saya mulai bosan. Kali ini mamase sepertinya sudah mulai sadar kalau saya sedang tidak mood diajak basa basi.

Sampailah saya di dekat mulut loket, di depan saya, mamase ternyata memesan tiket bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk teman-temannya yang lain. Yak, memesan tiket yang banyak dengan tujuan berbeda-beda, jelas membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi, teman-temannya si mamase ini banyak tanya-tanya. Saya makin gusar. Di belakang saya, ikut mengantri juga dua orang turis perempuan, mereka mengantri untuk membeli tiket ke Jogja. Mereka pun tampak gusar, sama seperti saya. Di tengah kegusaran dan kelelahan menunggu, salah seorang turis bertanya pada saya "Kamu mau ke mana" yang saya jawab dengan "ke Cirebon", dengan wajah lega mereka menghela napas karena mereka pikir saya akan ke Jogja, mereka takut kehabisan tiket. Saya pun lanjut berbincang dengan mereka sambil menunggu mamase memesan tiket.

Kira-kira begini isi percakapan saya dengan mereka :

T(turis) : "Kenapa orang di depan kamu lama sekali"
S (saya) : "Oh, mereka beli tiketnya banyak, tapi tujuannya beda-beda mangkanya lama"
T : "fiuh...kami mau ke Jogja, dan terlihat di layar hanya ada 4 kursi tersisa"
S :  "oh, yaudah nanti saya bantu tanyakan ke petugasnya ya

Sampai tibalah giliran saya, saya memesan tiket satu untuk tujuan Cirebon yang akan berangkat pukul 19.45 malam itu. Saya pun membantu turis itu (yang belakangan ketahuan bahwa mereka dari Prancis) untuk memesan tiket ke Jogja, dengan percakapan begini :

S : "Mas, tiket ke Jogja masih ada?"
M : "wah, sudah habis mba"
S : "Loh, tapi di layar masih ada 2 kursi katanya?"
M : "Ya tapi di sistem sudah habis, mungkin ada yang pesan dari stasiun lain mba"

saya mencoba menjelaskan kondisinya pada dua perempuan Prancis ini

S: "Sudah habis semua yang ke Jogja mba'e"
T : "What? tapi tadi masih ada 2"
S " Iya, tapi sekarang sudah habis, mungkin sudah ada yang beli di stasiun lain"
T : "Ada banyak sekali kereta ke Jogja hari ini dan semuanya habis"

Mba nya pun heran.
Salah satu dari mereka maju ke loket dan mulai berkomunikasi dengan mas penjual tiket "Please give us tickets to Jogjakarta, give us the most expensive tickets!" Dia pikir kalau ada yang masih tersisa, yang paling mahal sekalipun. Sayangnya, mau yang mahal, pun yang murah semua sudah ludes.

Saya kemudian mencoba memberi saran pada mereka untuk berankat keesokan harinya saja, namun kedua mba bule ini tidak mau, karena mereka memang sudah merencanakan untuk berangkat ke Jogja malam itu. Mba bule ini tetap kekeuh untuk bisa mendapatkan tiket. Mamas penjaga loket pun tidak hilang akal, iya terus mencarikan tiket untuk mereka. Selang beberapa menit kemudian, mamas penjaga loket pun memberi tahu bahwa ada 2 tiket untuk ke Jogja. Saya pun langsung memberi tahu ke mba bule, dengan muka sumringah mereka langsung memesan tiket itu. Sambil sedikit melotot dan kening berkerut ke mamas penjaga loket, saya bertanya "tadi katanya ga ada mas?", mamas penjaga loket pun menjawab gagap "kayannya ada yang cancel deh mba, nih baru aja muncul". Oke, yang penting mba bule ini sudah mendapatkan tiket.

Sambil menunggu transaksi dilakukan, kami pun berkenalan, mereka adalah dua orang keturunan Prancis-Amerika yang sedang kuliah di India dan sedang menikmati libur panjag mereka selama 4 bulan. Salah satu  negara yang mereka kunjungi adalah Indonesia. Rim, berbadan sedikit montok, berambut coklat ekor kuda menjabat tangan saya, sambil membawa carrier bervolume sekitar 70 liter iya menjelaskan bahwa mereka sedang liburan. Dan temannya, bernama Sego, "my name means rice right in here?" dia bilang, kalau arti dari namanya itu nasi di Indonesia, dan saya pun membenarkan sambil meluruskan bahwa sego adalah "nasi" bagi orang di daerah Jawa, tapi tidak untuk seluruh Indonesia. Dan ia pun mulai paham. Sego berperawakan lebih tinggi, langsing dengan rambut pirangnya, mengenakan celana batik dan kaus putih sederhana sambil mendorong koper ukuran paling besar. Mereka benar-benar melakukan perjalanan berkeliling tempat, bawaannya seperti orang pindahan.

Saya mengantar mereka sampai ke gerbang masuk menuju peron. Mereka berterima kasih pada saya. Sepanjang perjalanan menuju gerbang, kami berbicang banyak, saya tahu Rim adalah mahasiswa jurusan accounting dan Sego mahasiswa jurusan marketing. Kami berbincang banyak hal, tentang pekerjaan, tujuan perjalanan dan lainnya, sampai pada saat kami dekat dengan gerbang peron, ada seorang mas-mas menghampiri kami dan mulai berbicang menggunakan bahasa inggis

"Miss, are you the guide?" dia bilang begitu
"Oh, bukan mas, baru ketemu tadi, saya bisa Bahasa Indonesia kok mas" saya jawab.
"Oh, saya cuma mau melatih Bahasa Inggris saya kok Miss, saya lagi les"
"oohh...gitu"

Kemudian saya membiarkan mamas itu berbincang dengan kedua bule ini sampai dekat tempat antrian menuju peron. Sesaat sebelum Rim dan Sego masuk, mamas ini meminta untuk foto bersama. Hanya Sego yang mau, Rim tidak mau. Rim pikir aneh sekali foto-foto dengan orang yang tidak dikenal. Setelah puas berfoto dan berbincang bersama, saya dan mamase (yang belakangan ketahuan bahwa namanya Jafar) melambaikan tangan melepas mereka masuk gerbang. Rim dan Sego mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya.

Saya lanjut melangkahkan kaki menuju ruang tunggu, sendirian lagi, dan mulai membuka bekal.

Hal yang tidak biasa saya lakukan ketika melakukan perjalanan sendirian adalah berbincang dengan orang asing, tapi kali ini, perjalanan saya terasa tidak biasa.







Kamis, 30 April 2015

Filosofi dan Logika





Aku, Kamu dan logika kita
Mungkin memang berbeda
Aku, Kamu dan cerita kita
ditemukan, dalam kasih sayang semesta
Kurnia.............
Kita....................


Selalu ada cara terbaik untuk mengingat seseorang. Salah satunya melalui ritual nonton film. Saya mengenang kamu dalam film ini, "Filosofi Kopi".

Filosofi Kopi juga adalah buku pertama yang saya berikan untuk kamu, lengkap bersamaan dengan tanda tangan penulisnya. Maafkan saya yang menarik kamu terlalu dalam pada dunia saya yang tidak seperti orang kebanyakan, terlalu lama kamu berada pada dunia yang mungkin belum tentu cocok dengan kamu. Saya harap, kamu bisa menikmati, dan bahagia berada beberapa tahun di dunia saya.

Terima kasih sudah mau mengerti, memahami dan menerima saya
Saya tahu kamu lelah.....
Saya cukup tahu diri untuk tidak meminta kamu kembali.....
Terima kasih sudah menemani perjalanan saya selama ini
Menonton festival film, menonton teater, melihat bintang, tersesat bersama, jalan kaki menelusuri kota, naik bukit, makan banyak, berdoa bersama, bermimpi bersama, jatuh dan bangun bersama, tenggelam bersama, dan masiiiihhh banyak lagi.

Kita selalu berdebat tentang hidup, tentunya selalu kamu mengandalkan logika berpikirmu yang sangat canggih, dan saya hanya mendengar suara hati yang tidak pernah takut dalam menghadapi apapun.

Untuk beberapa hal, saya rasa kamu terlalu penakut dan penimbang, saya tidak pernah memikirkan resiko, hanya maju terus dan terkadang serampangan. Tapi kamu harus akui, logika tidak selalu membuat kita maju, terkadang justru membuat kita mundur ke belakang karena terlalu takut akan resiko, menimbang sana sini sampai pada akhirnya tidak berani untuk melangkah.

Bertahun bersama kamu, baru tahun lalu saya mendapati kita bisa begitu berperang dengan logika, sampai rasanya suara hati tidak lagi di dengar. Cukup banyak ketakutan, harapan, juga tuntutan yang harus dipenuhi. Menggunakan pikiran untuk memecahkan semuanya tentu tidak pernah cukup, kita alpa mendengar suara hati, kita alpa menangkupkan kedua tangan untuk berserah, kita hanya mengingat harapan-harapan yang tidak terpenuhi. Sampai akhirnya, kamu tahu bahwa mengandalkan kepala tidak cukup untuk membuat kita sama-sama bertahan.

Jika kamu punya cukup waktu, sempatkan untuk menonton film ini, karena di film ini saya mendapatkan banyak sekali makna hidup, juga relasi antara ayah dan anak yang digambarkan dengan sangat apik. Persis di bagian relasi ayah-anak saya mengingat kamu dan berharap bisa menonton bersama. Paling tidak, kita bisa menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.

Jika kamu punya cukup waktu, sempatkan menengok Bapak dan Ibu.

Jika kamu punya cukup waktu, sempatkan waktu sejenak untuk memaafkan saya, yang sudah menarik kamu terlalu dalam ke dunia saya.

Jika kamu punya cukup waktu, sempatkan waktu sejenak untuk bersyukur terhadap apa yang sudah dilalui bersama. Kesempatan, juga asa yang pupus.

Jika kamu punya cukup waktu, dengarkan musiknya dan tinggalkan sejenak kesibukan juga rutinitas yang merampas kebebasanmu.

Semua itu hanya bisa dilakukan jika kamu punya cukup waktu.
















Minggu, 15 Maret 2015

Merayakan 10 Tahun





A ship that never sink called friendship.

Salah satu kutipan yang saya suka. Persahabatan selalu teruji peristiwa dan waktu. Persahabatan terbaik bukan diukur dari seberapa lama ia bertahan, tapi juga seberapa kuat ia beradaptasi dengan peristiwa - peristiwa yang ada di depan mata.

Persahabatan saya dengan Nda, Rilla dan Acha dimulai sejak 10 tahun yang lalu. Secara tidak sengaja. Awalnya hanya iseng kumpul - kumpul biasa. Saya termasuk orang baru dalam persahabatan mereka. Saya adalah pihak luar yang tiba - tiba mohon izin untuk berteman dengan mereka. Untungnya, saya diterima dengan baik. Jadilah kami berempat, bisa dekat sampai sekarang.

Melalui berbagai peristiwa - peristiwa yang aneh, menggelitik, dan tak jarang membuat air mata menetes. Entah sudah berapa purnama kami lewati bersama. Entah sudah berapa banyak gelak tawa yang tertuang, air mata yang tertahan atau sekedar senyum simpul yang menggantung. Saya percaya, seaneh apapun bentuk persahabatan ini, kami akan selalu bersama. 

Aneh, betul - betul aneh bentuk persahabatan kami. Tapi sungguh, kami saling menyayangi satu sama lain. Meskipun terkadang sering ada campur tangan antara satu orang dengan orang lainnya, saling sindir, saling ngomongin di belakang, saling jatuh cinta dengan orang yang sama, sering minta perhatian lebih, tapi entah kenapa, kami selalu merasa kehilangan jika tidak bertegur sapa barang satu minggu. 

Saya percaya, setiap orang pasti berubah dan berhak menentukan jalannya masing - masing. Saya juga percaya, bahwa suatu saat nanti kami akan memilih jalan kami masing - masing. Saling meninggalkan. Saya juga percaya, bahwa tali silaturahmi yang sudah terjalin tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Meskipun kadang tak nampak, dan kita menganggap seolah olah tali itu hilang atau terputus. Sampai tiba waktunya, tali itu akan kembali terlihat, dan ternyata tidak pernah terputus.

Untuk 10 tahun yang sangat berharga, saya sungguh bersyukur bisa mengenal kalian. Mari saling berjalan, mencapai mimpi masing - masing. Selalu ingat untuk makan bersama ya, entah kapan dan di mana. Suatu saat nanti, kita bertemu untuk makan bersama sambil membawa anak dan suami turut serta. Ah....

Senin, 09 Februari 2015

Tentang Tuhan, Yang Harus Ada

Saya baru saja selesai menonton salah satu film India terbaik yang pernah saya tonton. Saya bersyukur bisa menontonnya di awal tahun ini. Meskipun, bisa dibilang saya cukup tertinggal, karena teman-teman saya yang lain sudah lebih dulu menonton, membahas, dan memperbincangkan mengenai film ini. Ya, "PK" judulnya, dengan Amir Khan sebagai bintang utamanya. Film ini bercerita tentang seorang makhluk dari planet lain yang ditugaskan untuk melakukan penelitian mengenai makhluk bumi, yang diperankan oleh Amir Khan. Salah satu adegan yang menarik adalah ketika PK masuk ke dalam ruang khusus bayi di salah satu rumah sakit di New Delhi, dan ia mencari tanda atau label agama di tubuh bayi tersebut. Ia bertanya, "mana tandanya?", tanda kalau dia sudah menganut agama dan kepercayaan tertentu. Begitulah, banyak dari kita yang menganut ajaran agama yang sama seperti apa yang orang tua kita percaya. Kita tidak atau mungkin tidak berani menerima atau mengambil kesempatan untuk memilih untuk percaya pada Tuhan yang mana dan menyembah dengan cara apa. Film ini memang banyak bertutur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pemaknaan pada sosok Tuhan. Tuhan itu satu, kemudian kita menciptakan Tuhan-Tuhan kita sendiri, membentuk kelompok kita sendiri, serta memiliki aturan yang berbeda-beda yang tidak jarang justru menimbulkan perpecahan. Tentu bukan ini yang diinginkan oleh Tuhan.

Mari kita tinggalkan PK sejenak, lalu beranjak pada hal-hal yang kita temui sehari-hari. Di jalan-jalan, saya pernah melihat spanduk dengan tulisan besar-besar "Indonesia Milik Allah", tertanda salah satu ormas islam. Spanduk lainnya lagi berbunyi, "Tolak Pemimpin Kafir". Apakah ini sebagai bentuk cara membela agama, membela Tuhan, atau membela keyakinan golongan tertentu?. Jika spanduk-spanduk itu memang dibuat untuk membela Tuhan serta agama, saya yakin Tuhan tidak ingin dibela dengan cara senorak itu. Saya yakin, Tuhan tidak perlu dibela. Kalau Tuhan perlu dibela, untuk apa Dia punya sifat maha kuasa, dan maha segalanya. Tuhan tidak perlu dibela dengan parang dan bedil, Dia cukup menjentikkan jari jika Dia mau merubah sesuatu sesuai kehendakNya. Jika memang orang-orang yang membela Tuhan itu betul-betul cinta pada Tuhan, tentu mereka tidak akan tega mengayunkan parang ke tubuh manusia sambil mengucap asmanya. Tidak pantas nama Tuhan disebut bersamaan dengan melakukan perbuatan keji. Bukankah Tuhan maha pengasih dan penyayang? Seperti percakapan yang dilakukan Mitch Albom dengan Reb dalam bukunya yang berjudul "Have A Little Faith" mengenai kegelisahan akan banyaknya orang yang melancarkan perang atas nama Tuhan.
"Mitch, kata Reb, "Tuhan tidak menginginkan pembunuhan seperti itu terus berlangsung."
"Lalu mengapa perang tak pernah berhenti?" Ia mengangkat alisnya
"Karena manusia menginginkannya"

Dalam bukunya yang berjudul "God Explained In Taxi Ride", Paul Arden menulis bahwa kata Darwin Tuhan tidak ada, yang ada hanya sains dan revolusi. Menurut Arden, hal itu terlalu sederhana bagi kebanyakan dari kita. Kita membutuhkan belaha jiwa, dan kita menengadah ke atas untuk menemukannya. Kita membutuhkan sesuatu yang sifatnya spiritual untuk kita yakini. Arden menjawab kegelisahan kita tentang Tuhan melalui buku ini, yang juga didasari oleh kegelisahannya sendiri. Ada lagi kutipan Arden yang menarik bagi saya,

" Kita semua punya sambungan langsung ke Tuhan. Kita tidak membutuhkan pengkhotbah atau nabi. Kita hanya perlu percaya bahwa ada suatu kuasa atau kekuatan yang sempurna. Namun tidak banyak hal akan menerima hal ini. Terlalu sederhana, kita harus membuatnya rumit. Tuhan pun tahu, itulah yang dilakukan agama, yaitu membuat segala hal menjadi rumit." 

Jika Tuhan memang sedekat itu dengan kita, begitu sederhananya Dia terjamah tanpa perlu ritual dan syarat yang membuatnya menjadi rumit, Ah, terkadang yang terlalu sederhana kerap disepelekan. Harus disampaikan dengan kata-kata setinggi langit dan jejeran ayat yang membuat kening berkerut, untuk membuat seseorang betul-betul yakin akan keberadaan Tuhan.

Beberapa hari lalu saya menemani sahabat saya untuk operasi kecil penanaman cimino. Sebuah alat yang ditanam di lengan kiri yang berfungsi sebagai jalan permanen dalam proses cuci darah. Sahabat saya mengidap penyakit ginjal yang tergolong langka sejak ia berusia empat tahun. Ia bertahan selama 22 tahun berdamai dan menerima penyakit yang ada di tubuhnya. Di saat orang lain mungkin sudah hampir menyerah, dan marah terhadap diri sendiri, dan mungkin juga marah terhadap Tuhan. Sahabat saya ini justru percaya, Tuhan punya maksud lain memberika ia penyakit yang begitu unik. Teriring doa dan harapan untuk Tuhan saat saya, serta kedua orang tuanya mendorong kursi roda mengantarkan ia menuju ruang operasi. Dia sendirian di sana, menjalani proses itu, hanya Tuhan satu-satunya tempat ia bergantung. Berharap dokter tidak salah memotong urat-uratnya, berharap segalanya berjalan dengan lancar. Barangkali, Tuhan memang perlu ada untuk tempat bergantung harapan, Untuk tempat menghujat dan bertanya "kenapa Tuhan? Kenapa harus saya?". Barangkali, di antara semua kekuasaan yang ada di muka bumi, di antara dokter-dokter bedah yang hebat, di antara polisi-polisi yang baik, penguasa yang jujus, politikus handal, dan jutawan dermawan, Tuhan harus tetap ada sebagai pengingat bahwa ada kuasa di atas kuasa. Bahwa ada yang maha Dia yang mengendalikan seluruh semesta dan isinya. Tuhan ada untuk tempat bergantung kaum papa, kaum yang merasakan ketidak adilan atas dirinya, kaum yang merasa hidup begitu sulit, tapi memilih untuk tidak gantung diri karena percaya Tuhan pasti memberikan yang terbaik. Karena Tuhan ada, sahabat saya percaya bahwa hidupnya harus dijalani penuh makna, serta penuh harap akan kesembuhannya. Ia percaya, di balik tangan dokter yang hebat, ada kuasa Tuhan yang mengendalikan semuanya.

Jika Tuhan memang ada, di mana kita menemukanNya? 
Di masjid, pura, wihara, kuil, gereja, atau keheningan?
Jawabannya selalu ada di dalam dirimu sendiri.


Selasa, 03 Februari 2015

Berhenti Lalu Lanjut Jalan

Sebuah pesan singkat, di telepon genggam seorang sahabat :


"Saya sudah lakukan semua yang saya bisa, dan tidak ada perubahan. Ini saatnya saya berhenti, dan melanjutkan kehidupan saya sendiri"

Minggu, 01 Februari 2015

Sabtu Bersama Bapak

Seperti biasa, saya baru saja membaca sebuah buku yang menggugah hati saya, yang membuat saya membacanya berulang kali. Tulisan ini bukan semacam review untuk sebuah buku yang habis saya baca. Tulisan ini saya buat sebagai bentuk refleksi atas apa yang sudah saya baca. Judul buku ini adalah "Sabtu Bersama Bapak", yang ditulis oleh Adhitya Mulya dengan bahasa yang ringan dan sarat makna.

Membaca buku ini seperti bercermin, pada masa lalu juga membawa saya berpikir jauh ke depan. Buku ini memang ditulis dari sudut pandang seorang bapak. Seorang bapak yang ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak serta istrinya. Sosok bapak yang tidak hadir secara nyata, tapi hadir secara makna, menemani keluarga mereka tumbuh dewasa.

Hubungan antara anak laki-laki dan bapaknya adalah sebuah relasi yang unik. Hal ini saya dapatkan dari hasil pengamatan saya terhadap sahabat-sahabat laki-laki saya. Ada sebuah jeda yang semakin lebar antara bapak dan anak lelakinya ketika sang anak beranjak dewasa. Sahabat saya, selalu bercerita seperti itu. Sama sekali, Ia tidak cocok berbincang dengan bapaknya. Entah mungkin karena sama-sama berasal dari planet yang sama, atau memiliki ego kelaki-lakian yang sama, seorang anak lelaki menjadi begitu renggang ketika beranjak dewasa. Tidak heran, seorang anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Mungkin diam-diam hal ini juga ditakuti oleh sang bapak. Jangan-jangan seorang bapak menginginkan anak lelakinya tidak tumbuh besar dan dewasa, agar ia bisa selalu nyambung, bisa selalu menjadi sosok bapak yang diimpikan bagi anak-anaknya. Seperti apa pun sosok bapak seharusnya, Adith menuliskan hubungan antara bapak dengan anak laki-lakinya dengan sangat apik di buku ini.

Relasi antara anak perempuan dengan bapaknya juga bisa dibilang unik. Saya contohnya, dekat dengan kedua orang tua saya. Bapak, adalah salah satu sosok laki-laki yang saya kagumi, terlepas dari berbagai sifat yang melekat pada dirinya. Karena bapak ada, saya bisa lahir ke dunia ini, bisa hidup dan mengenyam pendidikan yang nyaman, hidup berlimpah meski tidak mewah. Bapak saya, yang mengajari saya pertama kali naik sepeda, memutar-mutar tubuh saya, dan membawa saya terlelap di pangkuannya. Sampai usia saya sebesar ini, saya kadang masih suka manja sama bapak. Saya juga suka menghabiskan waktu bersama bapak. Terlebih saat malam pergantian tahun. Hampir setiap tahun saya habiskan dengan menonton TV bersama bapak, sampai tiba pergantian tahun lalu kami saling pamit tidur.

Membaca buku "Sabtu Bersama Bapak" membuat saya menerawang jauh ke depan. Saya ingin mencontoh sosok Bapak Gunawan dan Ibu Itje di buku ini. Pasangan yang saling mendukkung satu sama lain. Saling cinta sampai akhirnya salah satu dari mereka harus pindah ke dunia yang lain. Saya juga ingin mencontoh bagaiaman Pak Gunawan mendampingi anak-anaknya tumbuh. Banyak yang saya inginkan, dan semoga bisa tercapai. 

Buku ini juga sarat dengan beberapa nilai-nilai penting yang harus dimiliki oleh orang tua. Sebuah buku yang banyak menyisipkan pelajaran mengenai parenting tanpa terkesan menggurui juga minim teori. Semoga, buku ini bisa dibaca oleh lebih banyak orang, lebih banyak sahabat laki-laki saya. Dan untuk bapak, saya sayang bapak.

Sabtu, 31 Januari 2015

Self Project

Menjadi manusia rutin mungkin adalah salah satu ketakutan yang saya alami beberapa tahun silam. Sebagai orang yang mudah sekali bosan, saya selalu punya banyak cara untuk memecah rutinitas. Dalam hal berpacaran saja misalnya, ada serentet kegiatan dari mulai memanjat pohon sampai masuk ke gorong-gorong menghiasi kebersamaan saya dan dia. Betapa takutnya saya untuk duduk bekerja di sebuah kubikel yang ruang geraknya terbatas. Kini saya justru sangat menginginkannya. Saya menginginkan sebuah rutinitas.
Suatu kegiatan yang teratur, yang berpola. Saya menyadari, ternyata saya hanya takut untuk hidup teratur, hidup berpola dan takut kehilangan diri sendiri di antara rentetan pola pola tersebut. Bangun pagi, shalat subuh, sarapan, berangkat kerja, pulang sore lalu tidur. Terus begitu setiap hari adalah mimpi buruk bagi saya (dulu). Dengan alasan itulah saya selalu memilih pekerjaan lapangan. Pekerjaan yang lebih dinamis dan bisa bertemu dengan orang-orang yang berbeda.

Kini, saya sadar. Ternyata saya butuh tantangan yang lain. Di luar kebebasan saya. Untuk itu, mulai tahun ini, saya memutuskan dan bermimpi juga untuk bisa bergabung di salah satu perusahaan multi nasional dan bisa belajar banyak hal di sana (semoga tercapai, amin). Selain itu, saya juga membuat tantangan-tantangan kecil untuk diri saya sendiri yang saya namankan self project. Self  project saya di bulan Januari ini adalah melakukan latihan fisik secara rutin setiap hari. Berawal dari keinginan saya untuk berolahraga, saya ingin lari tapi sayangnya belum punya sepatu lari dan kurang rajin untuk bangun pagi. Saya memutuskan untuk melakukan sit up sehabis bangun tidur atau sebelum tidur. Awalnya ini saya lakukan sendiri, kemudian saya mengajak salah satu teman saya, sebut saja dia Nino untuk menjadi rival saya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Sampai akhiranya rutinitas sit up yang sudah terjadwal sempat terhenti karena saya menderita demam tinggi sehabis digigit kelabang ketika tidur -_-".

Project sit up ini saya lanjutkan lagi sendirian. Sampai pada suatu hari, ketika saya hadir di pertemuan rutin tim Expos, ternyata pelatih taekwondo saya sedang menjalankan program latihan untuk meningkatkan performa fisiknya. Wah, saya sangat tertarik akan hal ini. Bincang demi bincang, saya diberikan serentetan program latihan yang harus saya lakukan setiap hari. Lari di tempat, jumping jack, squad, adalah beberapa di antaranya. Awal - awal melakukan latihan ini, sungguh rasanya seperti habis melakukan marathon sejauh 9 km. Otot paha dan betis saya tertarik semua, yang membuat saya berjalan agak tertatih. Hari demi hari dilalui dan seri demi seri dijalani, kini badan saya menunjukkan hasilnya. Saya merasa lebih sehat, badan saya lebih ringan, juga yang terpenting adalah perut saya kempis :). Porject ini akan terus saya jalani sampai tepat tanggal 7 April. Perayaan ulang tahun tim bayangan (tim fighter di tim taekwondo saya).

Januari sudah hampir habis, saya ingin menantang diri saya lagi di bulan Februari. Self Project di bulan Februari adalah #FebruariMenulis. Saya akan membuat suatu rutinitas untuk mengasah kembali kemampuan bertutur saya melalui tulisan. Juga sebagai sarana latihan menulis demi sebuah project menulis novel bersama mas Edi (maapkeun mas, belum setor tulisan sampai sekarang -_-)

Terima kasih Januari yang penuh kejutan :)
Mari menyambut kejutan-kejutan berikutnya di Februari.

Rabu, 21 Januari 2015

"Cukup" Untuk Sepotong Siomay

Tiga tahun, ternyata tidak terasa kita sudah terpisah jarak pikiran dan hati. Saya selalu percaya, hati yang sudah bersatu hanya bisa dipisahkan oleh kematian. Seperti hal nya saya dan kamu. Tiga tahun berpisah tidak serta merta menjadikan kita menjadi sosok yang tak saling kenal. Kamu menantang idealisme kamu di sebuah perusahaan multinasional dan terdampar di pinggir Kalimantan. Tempat kamu bebas mencurahkan pikiran, rasa, juga asa tanpa ada batas, karena di sana kamu benar-benar menjadi dirimu sendiri.

Selalu, dengan cara yang tidak biasa. Dengan kemungkinan yang menurutmu tingkat presisinya sangat kecil, Tuhan menyambungkan kembali hati dan pikiran kita, dengan cara yang tidak biasa tentunya. Di malam yang sepi, saya memandang ke tepi jendela kereta api ekonomi menuju Malang. Ketika teman-teman saya terjebak dengan perbincangan tentang Tuhan. Ada pesan singkat yang menarik perhatian saya, menarik pikiran Saya, menarik hati Saya kembali. Ah, sudah lama sekali tidak bertegur sapa. Mendapat sebuah pesan singkat dari seorang sahabat lama rasanya lebih hebat dari sekedar mendapat durian runtuh (sebut saya lebay *sigh).

Ya, one thing lead to another. Perbincangan kita menjadi lebih berkembang. Dari yang awalnya kaku (maklum jedanya agak lama) sampai kemudian bisa cair kembali. Saya merasa kamu kembali, menjadi sosok sahabat saya yang saya kenal dulu. Obrolan demi obrolan membawa kita pada ajakan-ajakan untuk bertemu meskipun malu-malu. Hingga pada akhirnya, kamu kembali ke Bogor dan Saya kebetulan juga harus menghabiskan liburan Saya di sana. Ah, Bogor..tempat saya menemukan keping diri saya yang lain, yang membuat ingatan saya berziarah. 

Kamu, mungkin status sosial kamu sudah banyak berubah sekarang. Jabatan, Wanita yang selalu memujamu, dan Harta yang kini ada di genggaman terkadang membuatmu terlihat seperti orang lain. Saya ragu untuk mengajak kamu kemah, atau menantang kematian memanjat tebing licin di kala hujan, masihkah kamu mau? Berlelah menapak bebatuan, kehujanan, kebasahan tanpa pelindung? Saya sedikit ragu, dan semoga Saya salah tentang ini.

Satu minggu di Bogor tidak membuat Saya leluasa berbincang dengan kamu, karena satu dan lain hal yang membuat kita tidak banyak punya waktu berdua. Di kesempatan yang menurut Saya jarang terjadi, Saya mengajak kamu untuk bertemu di Jakarta, dan tentu saja kamu menolaknya. Bogor terlalu indah dan magis untuk ditinggalkan.
 ***
Selasa, satu hari sebelum ulang tahun kamu, hari yang cerah untuk berbincang. Saya dan kamu menikmati Bogor dari tempat yang agak tinggi. Makan siang, ditemani derasnya aliran sungai. Sambil menatap buku menu, saya sangat tertarik dengan menu-menu yang disajikan, rasanya ingin menyantap semuanya, tapi rasanya tidak mungkin karena perut saya tentu tidak cukup menampung semua makanan itu. 

Terlarut, saya dan kamu dalam obrolan-obrolan remeh temeh dan serius. Bunyi semdok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi musik pengiring perbincangan kita. Persahabatan memang selalu teruji peristiwa dan waktu. Saat berbincang dengan kamu, saya merasa ada yang berubah dari gaya kamu, tapi tidak dengan karakter kamu. Masih corelis-melankolis, narsis, acak-abstrak juga kontemplatif. Sesungguhnya kita lebih bayak diam saat itu. Mengobrol panjang, lalu diam lama..memandangi sungai, juga burung elang yang terbang bebas. Diam bersama kamu selalu beda, rasanya seperti sudah memuntahkan seluruh isi perut, tanpa perlu banyak kata.

***

Jeda panjang kita pada akhirnya dipecahkan oleh sebuah keinginan untuk mengunyah kembali. Maka kita sepakat untuk memesan makanan kembali. Kamu memilih siomay dan yoghurt, dan saya memilih pisang goreng. Sungguh, menu-menu yang tersaji sangat menarik, rasanya ingin mencoba semuanya. Tapi, lagi-lagi perut saya tentu tidak cukup untuk menampung semua itu. Kamu, seperti biasa hanya lapar mata.

Saya melahap pisang goreng saya dengan nikmat yang sama ketika saya menyantap sup iga. Tapi kamu, menyantap siomay dengan nikmat yang terpaksa. Sebenarnya kamu sudah merasa cukup, tapi gambar siomay di buku menu memang sungguh menggoda.

Mengingat satu dari lima siomay yang tersisa, di mana 3 siomay lainnya adalah saya yang memakannya, kita berhenti pada satu kata "cukup"sudah kenyang. Harus ada kata "cukup". Jika kita hidup untuk makan, akan banyak sekali menu-menu menggoda yang hadir di depan mata, dan selalu menggoda untuk diicip. Entah dari mana asalnya, perut dan pikiran kita selalu memilih menu terbaik untuk dimasukkan ke perut dan memuaskan pikiran. Untuk menu-menu menggoda yang lainnya, kita bisa bilang "cukup" saya sudah kenyang, Alhamdulillah.

Sama seperti siomay yang pada akhirnya tersisa. Hidup kita, hati kita juga punya kapasitasnya sendiri. Mungkin akan tiba waktunya kamu akan berkata "cukup" untuk tawaran-tawaran yang menggiurkan, untuk godaan-godaan yang datang. Bukan karena kamu tidak suka akan kemilaunya, tapi karena kamu sudah merasa "cukup" dengan apa yang kamu punya. Memilikinya berlebihan tidak akan membuat kamu bahagia. Sama seperti menghabiskan satu siomay yang tersisa hanya akan membuat perutmu begah. Biarkan ia tersisa, karena perut dan pikiranmu berkata, ini sudah "cukup", meskipun sebagai manusia yang memiliki otak komodo kita tidak akan pernah merasa cukup.

Nicholas Saputra, dalam perannya sebagai Yusuf di Film 3 Hari Untuk Selamanya (you have to watch this movie) ada potongan dialognya begini "..........saat usia kita menginjak angka 27 dan 29 kita akan mengambil keputusan penting dalam hidup kita yang akan merubah diri kita......"
Mudah-mudahan di usia kamu yang sekarang dan nanti kamu bisa terus mengambil keputusan-keputusan penting tersebut. Bisa mengatakan "cukup" untuk petualangan mencari "the one". Berani jujur pada diri kamu sendiri, dan berkata "cukup" untuk hal-hal yang membuat kamu tergoda. Cukup bilang.  "alhamdulilah, saya sudah kenyang".

Terima kasih untuk waktu luangnya. Entah harus menunggu berapa tahun lagi untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Semoga nanti, ketika kita bertemu kembali, kamu sudah punya jawaban dan tahu kapan waktunya bilang "cukup", dan meninggalkan yang tersisa.






Minggu, 04 Januari 2015

Mengingat Anicca, Dukkha, Anatta

"Apakah kamu pernah menangis"

Ini adalah salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh user, tempat saya melamar pekerjaan. Cukup lama saya terdiam, dan tidak selancar menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya. Karena sungguh, bagi saya itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Pernahkah? Pasti saya pernah menangis. Kapan dan karena apa? Saya tidak mengingat detail. Saya hanya ingat, saya pasti menangis jika ada masalah di keluarga saya, atau ketika saya berpisah dengan teman hidup saya. Itu pun, bukan peristiwa yang sering terjadi. Karena film? Tidak, tugas yang berat? Tidak, kematian? rasanya tidak.

Tidak menangis bukan berarti saya tidak sedih. Kehilangan, ada rasa sedih? pasti. Tapi saya memilih untuk tidak menangis. Saya hanya ingat satu quote yang saya tidak ingat sumbernya, kira-kira bunyinya begini "Nasib buruk mungkin tidak bisa kita hindari, tapi merasa sedih adalah sebuah pilihan."

Tahun 2014 adalah tahun kemelakatan bagi saya. Loh? Kenapa jadi bahas tentang kemelekatan? Karena rasa sedih dan bahagia pun bersumber dari sana.
Selepas bertugas di Tulang Bawang Barat, ada banyak sekali mimpi-mimpi dan rencana yang ingin saya jalani. Ada juga rasa rindu yang tertahan untuk bertemu dengan lelaki yang harumnya seperti rumah. Saya begitu menggantungkan hidup pada hal-hal ini. Ada juga rencana untuk menjajaki hubungan yang lebih serius, pun ini menjadi dasar saya untuk mengambil keputusan yang lain. Saya begitu melekat padanya, pada dia yang harumnya seperti rumah, pada rencana dan mimpi-mimpi. Hingga pada nyatanya, justru Saya menjadi takut untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti ketika saya ada tawaran untuk bekerja di luar pulau, saya jadi takut untuk menerimanya, takut apabila hubungan jarak jauh yang akan dijalani justru menjadi penghalang bagi rencana besar bersama. Ketakutan ini semakin menumpuk, dan tanpa disadari justru berefek negatif. Otak komodo saya tidak terpuaskan karena keinginan saya tidak tercapai, juga tertekan oleh rasa takut. Efeknya? Saya seperti hilang arah, tidak tahu harus ambil keputusan apa.

Sampai pada akhirnya Saya kembali "pulang" pada rumah saya, "Tim Expos" tempat saya bisa melepas juga mengendalikan otak komodo dan kancil saya yang begitu liar. Saya mengaktifkan kembali radar-radar kesadaran saya. Mengaktifkan kembali kepekaan untuk bersyukur. Perlahan, Saya mulai membaik.

Tuhan yang maha baik juga mengingatkan saya untuk tidak melekat. Selain belum mendapatkan tempat belajar yang cocok bagi saya, di tahun 2014 saya kehilangan seluruh memori dalam hard disk laptop saya, saya kehilangan sosok yang harumnya seperti rumah, saya juga merasa kehilangan beberapa jejak jejak penting yang sudah pernah saya toreh. Ya, di saat itu saya terhempas....saya merasa sendirian, berada di titik nadir.

Tapi percayalah, Tuhan sungguh adil. Di Tahun 2014 juga saya bertemu dengan orang-orang hebat. Hubungan persahabatan saya dengan Faris dan Dina juga semakin baik. Kami bisa berteman layaknya orang biasa yang tidak pernah berkonflik sebelumnya. Saya berkenalan dengan Mas Edi Dimyati yang ternyata beliau adalah aktivis rumah baca, penulis buku dan pecinta museum. Teman-teman di Kelas Inspirasi, SabangMerauke, dan sahabat-sahabat lainnya yang begitu menginspirasi saya.

Mungkin hal-hal yang bersifat bendawi (partner, hard disk, pekerjaan) seakan menjauh dari saya. Akan tetapi, saya justru mendapatkan kelimpahan yang tiada tara dengan hadirnya sahabat-sahabat hati, yang membuka ruang-ruang inspirasi. Rasanya hati saya terbuka begitu lebar saat ini. Siap untuk menampung apa saja.

Teringat dengan obrolan bersama Mas Pras saat di berboncengan di motor, kami berdua menelusuri jalan sepi dari Kebagusan menuju Bekasi. Mas Pras cerita, ada tiga hal yang dipegang oleh para buddhis, yaitu Anicca (Tidak Kekal), Dukkha (Penderitaan) dan Anatta (Tiada Diri). Lebih lengkapnya bisa di baca Di sini.

Mungkin, ketiga tanda keberadaan atau kemelakatan tersebut hadir untuk menjadi pengingat saya. Membuat saya menoleh sejenak dan merefleksikan hal-hal tersebut pada diri saya. Bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, baik suka ataupun duka. Pun, memang semua yang ada di dunia hanyalah titipan, terlalu melekat membuat kita takut kehilangan, padahal niscayanya, segala hal bendawi hanyalah sebentuk titipan yang harus kita jaga. Jika sewaktu waktu sang Empunya ingin mengambil miliknya, seharusnya dengan ikhlas kita mengembalikannya bukan?

Sebagai catatan di awal tahun, saya menuliskan tujuan-tujuan serta mimpi-mimpi yang ingin saya capai di tahun 2015. Tapi kali ini dengan perasaan jauh lebih ikhlas, karena menyadari bahwa tidak ada yang abadi selain keabadian itu sendiri, tidak ada yang pasti selain ketidakpatian itu sendiri, dan segala hal yang saya terima, hanyalah sebuah titipan. Jadi? kenapa harus gelisah dan menjalani hidup penuh kekhawatiran?

Khawatir atau tidak, gelisah atau tenang adalah sebuah pilihan, baik memilih salah satu ataupun keduanya, hidup tetap harus berjalan. Jadi, kenapa harus memilih jalan yang pelik?

Di awal tahun ini saya sungguh bersyukur atas hal-hal yang saya terima di tahun sebelumnya, di tahun ini, juga tahun-tahun yang akan datang. 

Jadi, Apakah saya pernah menangis?tentu pernah...karena sedih?sedikit, lebih sering karena bahagia yang tertampung.


If everything has been written down, so why worry? 
-Dee, Grew a day older-