Selasa, 16 Juni 2015

A Single Step


There will always be a single step to start something in your life. A single step that bring you to a big journey in your life, there will always be the first time in your life. These are 10th of my first time that bring me into the bigger journey :

1. First time I got a perfect score for math in my final exam when I am in Elementary School.
2. First time I fell in love when I was in 2nd grade of Junior High School
3. First time I lead an organization team when I was in Senior High School
4. First time I learned to ride a motorcycle
5. First time when someone trust me to lead made a bulletin when I was in Senior High School
6. First time when everyone trust me to wrote a hot topic for the University Newspaper
7. First time when I lead 52 smart Pengajar Muda Indonesia Mengajar to conducted a big event, but the leaders only gave me 3 days.
8. First time when I spoke in front of experienced teacher, and trained them, and make them dance with me
9. First time when I spoke in front of 24th strangers in a storytelling class about my dreams that came into reality
10. First time when I had to present my project in front of Directors, and Vice President and I had to speak English, full (that was my big fear).

There will always be the first time, if you want to jump high and reach your dream. Sometimes, I failed in my first time. The most important thing is, I never give up. I believe in second chances, and always try and try again to chase my dream.

The hardest part is when I want to start a single step. Once I brave to start a single step, everything come up and followed me smoothly.

All I have to do, and also you is just start. No matter how scare it is, how hard it is, how far it is. Just start, and all of the chances will follow you. Sometimes you fail and lose, but that's okay. As long as it doesn't kill you, it means no problem. Every obstacle and problem that you face will make you stronger and bigger.

Right now, I don't know whether I wrote this notes with right grammar or not, as long as you can understand about my writing. That's Okay :). At least, I tried to start.


Hello Stranger #2

Bertemu dengan orang asing adalah hal yang lumrah bagi saya yang senang bepergian sendirian. Suatu kelebihan, juga bisa menjadi kelemahan bahwa saya sangat mudah percaya dengan orang lain. Seolah hati saya tahu, bahwa orang ini, meskipun asing bagi saya, saya cukup yakin bahwa ia adalah orang yang baik. Saya percaya, Tuhan akan selalu melindungi umatnya. Saya sangat percaya akan hal itu, sehingga saya kerap bertemu, dan diberikan pertolongan oleh orang asing yang saya temui di jalan. Seperti misalnya, ada mas-mas baik hati yang saya kira tukang ojek, mengantar saya sampai jalan dekat rumah ketika saya terjebak banjir di tol Bekasi Timur, Ia tidak mau saya bayar, dan tidak meminta nomor HP saya! sungguh, Ia tulus, bukan MODUS. Atau, mas-mas baik hati yang memberitahu saya jadwal kereta selanjutnya ketika saya ketinggalan kereta di Cirebon. Dan, yang baru saja saya alami hari Sabtu (13/6) kemarin. Pemuda baik hati yang baru saja saya kenal di kelas Storytelling, mengantar saya dari Kebayoran Baru sampai Bekasi, karena jadwal yang molor, akhirnya saya pulang agak malam. Tidak ada lagi angkutan umum dari Kebayoran Baru ke Bekasi di atas jam 9 malam kecuali taksi. Saat itu saya sedang melakukan penghematan hehe, bahkan saya naik Go-Jek menggunakan fasilitas cashless. Sungguh, saya sangat mengontrol pengeluaran uang cash saya di hari itu :). 

Terkadang, kekhawatiran-kekhawatiran itu dibentuk oleh lingkungan. Pemberitaan yang negatif, atau sikap terlalu protektif dari orang yang sayang dengan diri kita. Saya percaya ada banyak orang baik, yang mungkin dihadirkan untuk membantu kita dengan tulus. Saya percaya hukum tarik menarik. Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Sekali menanam kebaikan, Tuhan akan membalas kebaikan kita dengan cara yang tidak di sangka-sangka, dari arah yang tidak pernah terpikirkan oleh kita. Terkadang, hal buruk datang, karena kita menariknya tanpa sengaja. Kita terlau takut, kita membayangkan hal-hal yang menyeramkan, ditambah penguatan dari pemberitaan di sana sini.

Namun, bukan berarti menjadi kebablasan menjadi begitu ramah dengan orang yang baru dikenal. Saya selalu membatasi diri beriteraksi dengan orang lain di tempat umum. Saya hampir selalu menolak jika orang asing bertanya pada saya. Entah kenapa, hati saya seakan tahu mana yang sekiranya "aman" dan "tidak" jika saya bertemu dengan orang asing. Ya, hati saya seolah bisa memilah. Mungkin Tuhan turut membantu saya dalam menentukan dengan siapa saya harus beriteraksi.

Terima kasih, untuk orang asing yang saya temui dan dengan tulus membantu saya. Sampai saat ini tidak ada yang berlanjut menjalin komunikasi dengan saya. Mereka hanya datang, membantu, lalu pergi melanjutkan hidup masing-masing :).






Minggu, 07 Juni 2015

Hebat


Hebat adalah ketika kamu mampu mengalahkan dirimu sendiri
Hebat adalah ketika kamu mau meminta maaf atas kesalahan yang sudah kamu buat
Hebat adalah ketika kamu bersedia memberi maaf dengan hati lapang pada seorang pendosa
Hebat adalah ketika kamu mau menjalin silaturahmi kembali dengan orang yang paling kamu benci

Orang yang hebat adalah orang yang menang melawan diri serta egonya sendiri
Tidak perlu duel di atas ring
Hebat adalah mau merendahkan hati untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf
Hebat adalah mau memberi meski sedikit
Hebat adalah menahan diri untuk tidak mencela
Hebat adalah berani mengatakan yang benar
Hebat itu bertanggung jawab atas setiap tutur, laku dan pikir



Senin, 01 Juni 2015

Selesai dengan Diri Sendiri


Lima tahun lalu, usai menimba ilmu di perguruan tinggi, saya merancang perjalanan berikutnya, melanjutkan idealisme yang tidak terbendung. Saya selalu mendapatkan apa yang saya inginkan dan saya hanya ingin melakukan hal-hal yang saya sukai. Saya yang terlahir dengan kepala yang sangat keras tidak pernah bersedia menjadi kuli untuk membangun mimpi orang lain. Saya memiliki mimpi saya sendiri, menjadi seorang guru, memiliki perpustakaan pribadi, dan memiliki usaha bimbingan belajar. Semua kegiatan yang butuh cukup banyak uang, namun saya belum memilikinya.

Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa saya bisa bekerja di Jakarta, di dalam sebuah gedung pencakar langit dan bekerja di balik kubikel mini. Yang saya impikan adalah berkeliling Indonesia dengan ransel penuh buku dan saya bisa berbagi dengan anak-anak di seluruh penjuru negeri. Yang saya impikan adalah melihat senyum dan tawa mereka. Impian saya terlalu luas, saya hanya ingin berbagi dan melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi orang lain.

Hingga suatu hari di tahun 2011, saya mengajukan rencana hidup saya seusai kuliah ke hadapan Ibu saya. Ibu adalah seseorang yang sangat demokratis, beliau memberikan kebebasan dan kepercayaan penuh pada saya. Saya boleh memilih menjadi apa pun asalkan itu untuk kebaikan. Tapi kali ini, Ibu saya memiliki banyak pertimbangan saat memberikan izin. Saya mohon izin untuk bisa bergabung sebagai pengajar di Indonesia Mengajar. Saya ingin mengabdikan diri saya untuk bisa mengajar anak-anak di ujung-ujung Indonesia. Ibu saya berpikir agak panjang untuk hal satu ini. Diskusi penuh argumen pun kami lakukan hampir setiap malam menjelang tidur. Entah, ada sesuatu yang menahan restu ibu. Saya, tentu dengan hati dan kepala yang keras tetap berjuang untuk mendapatkan izinnya. Dan kali ini, saya lagi-lagi menang. Ibu merestui keputusan saya.

Ada satu orang lagi yang harus saya yakinkan hatinya. Ia lah, laki-laki harum rumah yang selalu menemani dan mendukung setiap langkah saya. Seperti Ibu, untuk impian saya yang satu ini, Ia agak berat untuk merestui. Berbagai argumen logis saya bangun untuk meyakinkan hatinya melepas saya. Setelah berbagi ratusan malam penuh argumentasi, Ia pun menyerah. Saya, lagi-lagi menang kali ini. 
Dengan penuh rasa puas karena saya semakin dekat dengan impian saya, pada tahun 2012 saya berangkat menjadi Pengajar Muda selama kurang lebih 1,5 tahun. Hampir setiap orang yang tahu bahwa saya berhasil menjadi Pengajar Muda menyampaikan rasa salutnya pada saya. Saya bangga, bak seorang prajurit yang dikirim ke ujung perbatasan Indonesia, saya merasa sudah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Terkecuali Ibu saya, beliau biasa-biasa saja menanggapi kepergian saya. Beliau hanya titip pesan, jika saya sudah pulang nanti, saya harus berbakti pada keluarga. Saat itu, dengan hati yang masih angkuh, saya tidak mendengar dengan baik pesan Ibu, Saya terlarut dengan bayang-bayang senyum anak-anak yang merekah sambil berlarian tanpa alas kaki.

Ada sebuah argumen yang selalu saya debatkan dengan dia laki-laki harum rumah, adalah bahwa seoarang pemimpin haruslah selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan diri sendiri berarti memiliki kemampuan untuk memberikan solusi bagi masalah-masalah yang ada di sekitar, tidak lagi berkutat dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Menjadi bagian dari solusi, bukan justru memperkeruh masalah. Dia, juga dengan idelisme nya sendiri percaya bahwa keluarga adalah yang utama, bahwa kita harus memberikan yang  terbaik bagi keluarga kita baru memberi untuk orang lain. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan hal itu. Saya percaya, jika ingin berbagi, ya berbagi saja. Tidak perlu pikir apa-apa. Di titik ini saya dan dia sering tidak bertemu. Sampai pada akhirnya, saya berpikir bahwa saya sudah selesai dengan diri saya sendiri karena saya sudah aktif membantu orang lain, mengikuti gerakan sosial ini itu, terlibat menjadi relawan di sana-sini dan sudah bisa memiliki penghasilan dan membiayai kuliah saya sendiri. Saya, pada saat itu merasa bahwa saya adalah orang yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Saya bangga, bisa selesai dengan diri saya sendiri.

Bertahun saya terlelap di dunia mimpi, saya terbangun di pertengahan tahun 2014. Saat saya sudah kembali ke Jakarta, kembali pulang ke rumah setelah hampir 8 tahun sejak saya kuliah di Bogor, saya jarang sekali tinggal dalam waktu cukup lama di rumah. Saya bertahan di rumah, meskipun saya harus bolak-balik Bekasi-Kota ketika mulai magang di BNI, saya bertahan untuk tidak kos. Beberapa bulan di rumah, baru saya menyadari bahwa banyak sekali hal terjadi di rumah yang saya tidak ketahui. Saya tidak sadar bahwa adik saya sudah mulai masuk masa persiapan untuk kuliah, saya juga tidak memantau bagaimana adik saya berteman, saya tidak tahu bahwa ayah dan ibu semakin hari semakin lelah. Saya sadar, saya sudah meninggalkan mereka terlalu lama. Saya terlalu asik mengejar mimpi-mimpi saya. Dengan angkuh merasa bahwa saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Nyatanya, ada fase-fase yang belum selesai. Mungkin di saat saya memutuskan untuk berangkat menjadi Pengajar Muda, di saat itu saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. Tapi di fase ini, saat saya kembali bersama keluarga. Ada banyak hal yang belum selesai.

Mengingat kembali pesan ibu saya saat saya berangkat menjadi Pengajar Muda, bahwa saya harus berbakti pada keluarga. Ya, saya sadar akan hal itu. Keluarga saya belum selesai, saya harus memberdayakan ibu dan ayah saya menjadi manusia mandiri, kelak adik saya juga haru mandiri. Saya harus mendorong mereka. Ketika saya berbangga hati bahwa saya berhasil memberdayakan masyarakat di Tulang Bawang Barat, di saat yang sama saya juga runtuh, mengapa saya tidak memulainya di keluarga saya sendiri?

Kini, saya memilih untuk menepikan sedikit ambisi saya. Saya menjalani hidup "normal" bekerja di sebuah perusahaan swasta, di balik sebuah kubikel di dalam gedung pencakar langit. Hal yang sungguh bukan impian saya, namu bisa membahagikan keluarga saya. Saya tetap aktif menjadi relawan gerakan sosial, saya tetap aktif mengajar, tentu dengan porsi yang saya kurangi sedikit.

Selesai dengan diri sendiri ternyata tidak cukup satu kali di lakukan. Saya percaya, bahwa di setiap fase kehidupan saya akan bertemu dengan tantangan yang memaksa saya untuk selalu menuruti impian saya sendiri dan tidak mengindahkan orang lain, atau saya bersama-sama dengan orang-orang di sekitar saya bergandeng tangan untuk selesai dengan diri sendiri, dan mulai memberi manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang.

Saya sungguh-sungguh bersyukur Tuhan memberikan banyak kesempatan untuk belajar, memberikan hal-hal baik, dan membantu saya menjaga idealisme saya. Saya bersyukur dikelilingi orang-orang baik.

Untuk kamu, laki-laki yang harumnya seperti rumah. Ternyata kita belum selesai dengan diri kita sendiri. Mungkin ini saatnya untuk selesai dengan diri sendiri, baru berani memutuskan untuk melangkah bersama.