Minggu, 03 Mei 2015

Hello Stranger #1

Percayalah, melakukan sebuah perjalanan bagaikan sebuah candu, tapi tidak bila perjalanan itu dilakukan tanpa perencanaan yang matang, sedang datang bulan, serta ada rindu yang menggantung. Sungguh, sebuah komposisi yang kacau. Namun, dibalik semua kekacauan yang ada, tersembunyi suatu makna yang indah, layaknya sebuah lukisan abstrak yang dibuat apa adanya, berantakan namu tetap mengandung keindahan.

Saya melakukan perjalanan sendirian untuk kesekian kalinya, namun kali ini tanpa perencanaan yang baik. Seperti misalnya, saya mau pergi tanggal 1, tapi saya belum cetak tiket sama sekali, saya mengandalkan injury time. Begitu juga dengan packing, saya baru packing H-2 jam sebelum berangkat. Sungguh!! ini betul-betul bukan cara saya menyiapkan perjalanan. Mengenai hasilnya? sudah tentu, tanpa perencanaan yang matang, saya seperti layangan putus mencari arah angin. Terburu-buru melakukan ini itu.

Saya baru ingat, kalau 1 Mei adalah hari di mana buruh di Indonesia melakukan unjuk rasa, sehingga imbasnya pada hari itu, lalu lintas tidak terkendali. Ditambah lagi hari buruh kali ini berdempetan dengan akhir pekan, lengkap sudah perjalanan saya kali ini berbarengan dengan arus orang-orang mudik. Jadwal KRL yang kacau, mesin cetak tiket mandiri yang penuh disesaki orang menjadi awal ketidaksesuaian rencana perjalanan saya.

Fiuh...kereta saya berangkat dari Ps. Senen menuju Cirebon pukul 16.30, dan saya baru tiba di stasiun Ps.Senen tepat pukul 16.30, tepat ketika kereta saya berangkat.Terdengar sayup petugas dari mesin pengeras suara memberi tahu bahwa kereta yang akan saya tumpangi akan segera berangkat. Saya pasrah, saya sadar saya sudah melakukan kesalahan. Saya memutuskan untuk mengantri di loket, berharap masih ada tiket kereta yang tersisa. Karena saya sudah terlanjur pamit, pantang rasanya untuk kembali pulang ke rumah, lalu bilang "saya ketinggalan kereta", sunguh ini sama sekali ga keren.

Tibalah saya pada giliran saya membeli tiket, antrian saat itu cukup pendek, tanpa pikir panjang saya langsung memesan kereta menuju Cirebon untuk pemberangkatan berikutanya. Saya hendak membayar menggunakan kartu debit karena saya tidak membawa banyak uang cash. Dan, yak...menit demi menit berlalu, pembayaran saya ternyata tidak bisa diproses karena ada gangguan jaringan pada mesin kartu debit BCA. Saya pun tidak punya pilihan lain selain mengambil uang cash dan mengantri ulang.

Setelah kembali dari menarik uang cash, antrian sudah mengular lebih panjang, dan saya mulai gusar tidak tenang. Seorang laki-laki mengenakan seragam Angkatan Darat menanyakan tujuan kepergian saya yang kemudian saya jawab sekenany karena saya sedang tidak mood berbasa-basi. Mas-mas ini sepertinya tidak bisa membaca bahasa tubuh saya sedang enggan diajak bicara, dia kemudian melanjutkan percakapan "ooh..mau ke Cirebon? kenapa ndak naik bus aja mba? Teman-teman saya yang ke Cirebon tadi pada berangkat naik bus." saya jawab sekenanya juga "macet mas." Mamase hanya membalas dengan "ooohhh" panjang. Lalu ia melanjutkan lagi, "Kuliah to? atau kerja"
"Kerja mas" jawab saya mulai bosan. Kali ini mamase sepertinya sudah mulai sadar kalau saya sedang tidak mood diajak basa basi.

Sampailah saya di dekat mulut loket, di depan saya, mamase ternyata memesan tiket bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk teman-temannya yang lain. Yak, memesan tiket yang banyak dengan tujuan berbeda-beda, jelas membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi, teman-temannya si mamase ini banyak tanya-tanya. Saya makin gusar. Di belakang saya, ikut mengantri juga dua orang turis perempuan, mereka mengantri untuk membeli tiket ke Jogja. Mereka pun tampak gusar, sama seperti saya. Di tengah kegusaran dan kelelahan menunggu, salah seorang turis bertanya pada saya "Kamu mau ke mana" yang saya jawab dengan "ke Cirebon", dengan wajah lega mereka menghela napas karena mereka pikir saya akan ke Jogja, mereka takut kehabisan tiket. Saya pun lanjut berbincang dengan mereka sambil menunggu mamase memesan tiket.

Kira-kira begini isi percakapan saya dengan mereka :

T(turis) : "Kenapa orang di depan kamu lama sekali"
S (saya) : "Oh, mereka beli tiketnya banyak, tapi tujuannya beda-beda mangkanya lama"
T : "fiuh...kami mau ke Jogja, dan terlihat di layar hanya ada 4 kursi tersisa"
S :  "oh, yaudah nanti saya bantu tanyakan ke petugasnya ya

Sampai tibalah giliran saya, saya memesan tiket satu untuk tujuan Cirebon yang akan berangkat pukul 19.45 malam itu. Saya pun membantu turis itu (yang belakangan ketahuan bahwa mereka dari Prancis) untuk memesan tiket ke Jogja, dengan percakapan begini :

S : "Mas, tiket ke Jogja masih ada?"
M : "wah, sudah habis mba"
S : "Loh, tapi di layar masih ada 2 kursi katanya?"
M : "Ya tapi di sistem sudah habis, mungkin ada yang pesan dari stasiun lain mba"

saya mencoba menjelaskan kondisinya pada dua perempuan Prancis ini

S: "Sudah habis semua yang ke Jogja mba'e"
T : "What? tapi tadi masih ada 2"
S " Iya, tapi sekarang sudah habis, mungkin sudah ada yang beli di stasiun lain"
T : "Ada banyak sekali kereta ke Jogja hari ini dan semuanya habis"

Mba nya pun heran.
Salah satu dari mereka maju ke loket dan mulai berkomunikasi dengan mas penjual tiket "Please give us tickets to Jogjakarta, give us the most expensive tickets!" Dia pikir kalau ada yang masih tersisa, yang paling mahal sekalipun. Sayangnya, mau yang mahal, pun yang murah semua sudah ludes.

Saya kemudian mencoba memberi saran pada mereka untuk berankat keesokan harinya saja, namun kedua mba bule ini tidak mau, karena mereka memang sudah merencanakan untuk berangkat ke Jogja malam itu. Mba bule ini tetap kekeuh untuk bisa mendapatkan tiket. Mamas penjaga loket pun tidak hilang akal, iya terus mencarikan tiket untuk mereka. Selang beberapa menit kemudian, mamas penjaga loket pun memberi tahu bahwa ada 2 tiket untuk ke Jogja. Saya pun langsung memberi tahu ke mba bule, dengan muka sumringah mereka langsung memesan tiket itu. Sambil sedikit melotot dan kening berkerut ke mamas penjaga loket, saya bertanya "tadi katanya ga ada mas?", mamas penjaga loket pun menjawab gagap "kayannya ada yang cancel deh mba, nih baru aja muncul". Oke, yang penting mba bule ini sudah mendapatkan tiket.

Sambil menunggu transaksi dilakukan, kami pun berkenalan, mereka adalah dua orang keturunan Prancis-Amerika yang sedang kuliah di India dan sedang menikmati libur panjag mereka selama 4 bulan. Salah satu  negara yang mereka kunjungi adalah Indonesia. Rim, berbadan sedikit montok, berambut coklat ekor kuda menjabat tangan saya, sambil membawa carrier bervolume sekitar 70 liter iya menjelaskan bahwa mereka sedang liburan. Dan temannya, bernama Sego, "my name means rice right in here?" dia bilang, kalau arti dari namanya itu nasi di Indonesia, dan saya pun membenarkan sambil meluruskan bahwa sego adalah "nasi" bagi orang di daerah Jawa, tapi tidak untuk seluruh Indonesia. Dan ia pun mulai paham. Sego berperawakan lebih tinggi, langsing dengan rambut pirangnya, mengenakan celana batik dan kaus putih sederhana sambil mendorong koper ukuran paling besar. Mereka benar-benar melakukan perjalanan berkeliling tempat, bawaannya seperti orang pindahan.

Saya mengantar mereka sampai ke gerbang masuk menuju peron. Mereka berterima kasih pada saya. Sepanjang perjalanan menuju gerbang, kami berbicang banyak, saya tahu Rim adalah mahasiswa jurusan accounting dan Sego mahasiswa jurusan marketing. Kami berbincang banyak hal, tentang pekerjaan, tujuan perjalanan dan lainnya, sampai pada saat kami dekat dengan gerbang peron, ada seorang mas-mas menghampiri kami dan mulai berbicang menggunakan bahasa inggis

"Miss, are you the guide?" dia bilang begitu
"Oh, bukan mas, baru ketemu tadi, saya bisa Bahasa Indonesia kok mas" saya jawab.
"Oh, saya cuma mau melatih Bahasa Inggris saya kok Miss, saya lagi les"
"oohh...gitu"

Kemudian saya membiarkan mamas itu berbincang dengan kedua bule ini sampai dekat tempat antrian menuju peron. Sesaat sebelum Rim dan Sego masuk, mamas ini meminta untuk foto bersama. Hanya Sego yang mau, Rim tidak mau. Rim pikir aneh sekali foto-foto dengan orang yang tidak dikenal. Setelah puas berfoto dan berbincang bersama, saya dan mamase (yang belakangan ketahuan bahwa namanya Jafar) melambaikan tangan melepas mereka masuk gerbang. Rim dan Sego mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya.

Saya lanjut melangkahkan kaki menuju ruang tunggu, sendirian lagi, dan mulai membuka bekal.

Hal yang tidak biasa saya lakukan ketika melakukan perjalanan sendirian adalah berbincang dengan orang asing, tapi kali ini, perjalanan saya terasa tidak biasa.