Senin, 09 Februari 2015

Tentang Tuhan, Yang Harus Ada

Saya baru saja selesai menonton salah satu film India terbaik yang pernah saya tonton. Saya bersyukur bisa menontonnya di awal tahun ini. Meskipun, bisa dibilang saya cukup tertinggal, karena teman-teman saya yang lain sudah lebih dulu menonton, membahas, dan memperbincangkan mengenai film ini. Ya, "PK" judulnya, dengan Amir Khan sebagai bintang utamanya. Film ini bercerita tentang seorang makhluk dari planet lain yang ditugaskan untuk melakukan penelitian mengenai makhluk bumi, yang diperankan oleh Amir Khan. Salah satu adegan yang menarik adalah ketika PK masuk ke dalam ruang khusus bayi di salah satu rumah sakit di New Delhi, dan ia mencari tanda atau label agama di tubuh bayi tersebut. Ia bertanya, "mana tandanya?", tanda kalau dia sudah menganut agama dan kepercayaan tertentu. Begitulah, banyak dari kita yang menganut ajaran agama yang sama seperti apa yang orang tua kita percaya. Kita tidak atau mungkin tidak berani menerima atau mengambil kesempatan untuk memilih untuk percaya pada Tuhan yang mana dan menyembah dengan cara apa. Film ini memang banyak bertutur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pemaknaan pada sosok Tuhan. Tuhan itu satu, kemudian kita menciptakan Tuhan-Tuhan kita sendiri, membentuk kelompok kita sendiri, serta memiliki aturan yang berbeda-beda yang tidak jarang justru menimbulkan perpecahan. Tentu bukan ini yang diinginkan oleh Tuhan.

Mari kita tinggalkan PK sejenak, lalu beranjak pada hal-hal yang kita temui sehari-hari. Di jalan-jalan, saya pernah melihat spanduk dengan tulisan besar-besar "Indonesia Milik Allah", tertanda salah satu ormas islam. Spanduk lainnya lagi berbunyi, "Tolak Pemimpin Kafir". Apakah ini sebagai bentuk cara membela agama, membela Tuhan, atau membela keyakinan golongan tertentu?. Jika spanduk-spanduk itu memang dibuat untuk membela Tuhan serta agama, saya yakin Tuhan tidak ingin dibela dengan cara senorak itu. Saya yakin, Tuhan tidak perlu dibela. Kalau Tuhan perlu dibela, untuk apa Dia punya sifat maha kuasa, dan maha segalanya. Tuhan tidak perlu dibela dengan parang dan bedil, Dia cukup menjentikkan jari jika Dia mau merubah sesuatu sesuai kehendakNya. Jika memang orang-orang yang membela Tuhan itu betul-betul cinta pada Tuhan, tentu mereka tidak akan tega mengayunkan parang ke tubuh manusia sambil mengucap asmanya. Tidak pantas nama Tuhan disebut bersamaan dengan melakukan perbuatan keji. Bukankah Tuhan maha pengasih dan penyayang? Seperti percakapan yang dilakukan Mitch Albom dengan Reb dalam bukunya yang berjudul "Have A Little Faith" mengenai kegelisahan akan banyaknya orang yang melancarkan perang atas nama Tuhan.
"Mitch, kata Reb, "Tuhan tidak menginginkan pembunuhan seperti itu terus berlangsung."
"Lalu mengapa perang tak pernah berhenti?" Ia mengangkat alisnya
"Karena manusia menginginkannya"

Dalam bukunya yang berjudul "God Explained In Taxi Ride", Paul Arden menulis bahwa kata Darwin Tuhan tidak ada, yang ada hanya sains dan revolusi. Menurut Arden, hal itu terlalu sederhana bagi kebanyakan dari kita. Kita membutuhkan belaha jiwa, dan kita menengadah ke atas untuk menemukannya. Kita membutuhkan sesuatu yang sifatnya spiritual untuk kita yakini. Arden menjawab kegelisahan kita tentang Tuhan melalui buku ini, yang juga didasari oleh kegelisahannya sendiri. Ada lagi kutipan Arden yang menarik bagi saya,

" Kita semua punya sambungan langsung ke Tuhan. Kita tidak membutuhkan pengkhotbah atau nabi. Kita hanya perlu percaya bahwa ada suatu kuasa atau kekuatan yang sempurna. Namun tidak banyak hal akan menerima hal ini. Terlalu sederhana, kita harus membuatnya rumit. Tuhan pun tahu, itulah yang dilakukan agama, yaitu membuat segala hal menjadi rumit." 

Jika Tuhan memang sedekat itu dengan kita, begitu sederhananya Dia terjamah tanpa perlu ritual dan syarat yang membuatnya menjadi rumit, Ah, terkadang yang terlalu sederhana kerap disepelekan. Harus disampaikan dengan kata-kata setinggi langit dan jejeran ayat yang membuat kening berkerut, untuk membuat seseorang betul-betul yakin akan keberadaan Tuhan.

Beberapa hari lalu saya menemani sahabat saya untuk operasi kecil penanaman cimino. Sebuah alat yang ditanam di lengan kiri yang berfungsi sebagai jalan permanen dalam proses cuci darah. Sahabat saya mengidap penyakit ginjal yang tergolong langka sejak ia berusia empat tahun. Ia bertahan selama 22 tahun berdamai dan menerima penyakit yang ada di tubuhnya. Di saat orang lain mungkin sudah hampir menyerah, dan marah terhadap diri sendiri, dan mungkin juga marah terhadap Tuhan. Sahabat saya ini justru percaya, Tuhan punya maksud lain memberika ia penyakit yang begitu unik. Teriring doa dan harapan untuk Tuhan saat saya, serta kedua orang tuanya mendorong kursi roda mengantarkan ia menuju ruang operasi. Dia sendirian di sana, menjalani proses itu, hanya Tuhan satu-satunya tempat ia bergantung. Berharap dokter tidak salah memotong urat-uratnya, berharap segalanya berjalan dengan lancar. Barangkali, Tuhan memang perlu ada untuk tempat bergantung harapan, Untuk tempat menghujat dan bertanya "kenapa Tuhan? Kenapa harus saya?". Barangkali, di antara semua kekuasaan yang ada di muka bumi, di antara dokter-dokter bedah yang hebat, di antara polisi-polisi yang baik, penguasa yang jujus, politikus handal, dan jutawan dermawan, Tuhan harus tetap ada sebagai pengingat bahwa ada kuasa di atas kuasa. Bahwa ada yang maha Dia yang mengendalikan seluruh semesta dan isinya. Tuhan ada untuk tempat bergantung kaum papa, kaum yang merasakan ketidak adilan atas dirinya, kaum yang merasa hidup begitu sulit, tapi memilih untuk tidak gantung diri karena percaya Tuhan pasti memberikan yang terbaik. Karena Tuhan ada, sahabat saya percaya bahwa hidupnya harus dijalani penuh makna, serta penuh harap akan kesembuhannya. Ia percaya, di balik tangan dokter yang hebat, ada kuasa Tuhan yang mengendalikan semuanya.

Jika Tuhan memang ada, di mana kita menemukanNya? 
Di masjid, pura, wihara, kuil, gereja, atau keheningan?
Jawabannya selalu ada di dalam dirimu sendiri.


Selasa, 03 Februari 2015

Berhenti Lalu Lanjut Jalan

Sebuah pesan singkat, di telepon genggam seorang sahabat :


"Saya sudah lakukan semua yang saya bisa, dan tidak ada perubahan. Ini saatnya saya berhenti, dan melanjutkan kehidupan saya sendiri"

Minggu, 01 Februari 2015

Sabtu Bersama Bapak

Seperti biasa, saya baru saja membaca sebuah buku yang menggugah hati saya, yang membuat saya membacanya berulang kali. Tulisan ini bukan semacam review untuk sebuah buku yang habis saya baca. Tulisan ini saya buat sebagai bentuk refleksi atas apa yang sudah saya baca. Judul buku ini adalah "Sabtu Bersama Bapak", yang ditulis oleh Adhitya Mulya dengan bahasa yang ringan dan sarat makna.

Membaca buku ini seperti bercermin, pada masa lalu juga membawa saya berpikir jauh ke depan. Buku ini memang ditulis dari sudut pandang seorang bapak. Seorang bapak yang ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak serta istrinya. Sosok bapak yang tidak hadir secara nyata, tapi hadir secara makna, menemani keluarga mereka tumbuh dewasa.

Hubungan antara anak laki-laki dan bapaknya adalah sebuah relasi yang unik. Hal ini saya dapatkan dari hasil pengamatan saya terhadap sahabat-sahabat laki-laki saya. Ada sebuah jeda yang semakin lebar antara bapak dan anak lelakinya ketika sang anak beranjak dewasa. Sahabat saya, selalu bercerita seperti itu. Sama sekali, Ia tidak cocok berbincang dengan bapaknya. Entah mungkin karena sama-sama berasal dari planet yang sama, atau memiliki ego kelaki-lakian yang sama, seorang anak lelaki menjadi begitu renggang ketika beranjak dewasa. Tidak heran, seorang anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Mungkin diam-diam hal ini juga ditakuti oleh sang bapak. Jangan-jangan seorang bapak menginginkan anak lelakinya tidak tumbuh besar dan dewasa, agar ia bisa selalu nyambung, bisa selalu menjadi sosok bapak yang diimpikan bagi anak-anaknya. Seperti apa pun sosok bapak seharusnya, Adith menuliskan hubungan antara bapak dengan anak laki-lakinya dengan sangat apik di buku ini.

Relasi antara anak perempuan dengan bapaknya juga bisa dibilang unik. Saya contohnya, dekat dengan kedua orang tua saya. Bapak, adalah salah satu sosok laki-laki yang saya kagumi, terlepas dari berbagai sifat yang melekat pada dirinya. Karena bapak ada, saya bisa lahir ke dunia ini, bisa hidup dan mengenyam pendidikan yang nyaman, hidup berlimpah meski tidak mewah. Bapak saya, yang mengajari saya pertama kali naik sepeda, memutar-mutar tubuh saya, dan membawa saya terlelap di pangkuannya. Sampai usia saya sebesar ini, saya kadang masih suka manja sama bapak. Saya juga suka menghabiskan waktu bersama bapak. Terlebih saat malam pergantian tahun. Hampir setiap tahun saya habiskan dengan menonton TV bersama bapak, sampai tiba pergantian tahun lalu kami saling pamit tidur.

Membaca buku "Sabtu Bersama Bapak" membuat saya menerawang jauh ke depan. Saya ingin mencontoh sosok Bapak Gunawan dan Ibu Itje di buku ini. Pasangan yang saling mendukkung satu sama lain. Saling cinta sampai akhirnya salah satu dari mereka harus pindah ke dunia yang lain. Saya juga ingin mencontoh bagaiaman Pak Gunawan mendampingi anak-anaknya tumbuh. Banyak yang saya inginkan, dan semoga bisa tercapai. 

Buku ini juga sarat dengan beberapa nilai-nilai penting yang harus dimiliki oleh orang tua. Sebuah buku yang banyak menyisipkan pelajaran mengenai parenting tanpa terkesan menggurui juga minim teori. Semoga, buku ini bisa dibaca oleh lebih banyak orang, lebih banyak sahabat laki-laki saya. Dan untuk bapak, saya sayang bapak.