Sabtu, 31 Januari 2015

Self Project

Menjadi manusia rutin mungkin adalah salah satu ketakutan yang saya alami beberapa tahun silam. Sebagai orang yang mudah sekali bosan, saya selalu punya banyak cara untuk memecah rutinitas. Dalam hal berpacaran saja misalnya, ada serentet kegiatan dari mulai memanjat pohon sampai masuk ke gorong-gorong menghiasi kebersamaan saya dan dia. Betapa takutnya saya untuk duduk bekerja di sebuah kubikel yang ruang geraknya terbatas. Kini saya justru sangat menginginkannya. Saya menginginkan sebuah rutinitas.
Suatu kegiatan yang teratur, yang berpola. Saya menyadari, ternyata saya hanya takut untuk hidup teratur, hidup berpola dan takut kehilangan diri sendiri di antara rentetan pola pola tersebut. Bangun pagi, shalat subuh, sarapan, berangkat kerja, pulang sore lalu tidur. Terus begitu setiap hari adalah mimpi buruk bagi saya (dulu). Dengan alasan itulah saya selalu memilih pekerjaan lapangan. Pekerjaan yang lebih dinamis dan bisa bertemu dengan orang-orang yang berbeda.

Kini, saya sadar. Ternyata saya butuh tantangan yang lain. Di luar kebebasan saya. Untuk itu, mulai tahun ini, saya memutuskan dan bermimpi juga untuk bisa bergabung di salah satu perusahaan multi nasional dan bisa belajar banyak hal di sana (semoga tercapai, amin). Selain itu, saya juga membuat tantangan-tantangan kecil untuk diri saya sendiri yang saya namankan self project. Self  project saya di bulan Januari ini adalah melakukan latihan fisik secara rutin setiap hari. Berawal dari keinginan saya untuk berolahraga, saya ingin lari tapi sayangnya belum punya sepatu lari dan kurang rajin untuk bangun pagi. Saya memutuskan untuk melakukan sit up sehabis bangun tidur atau sebelum tidur. Awalnya ini saya lakukan sendiri, kemudian saya mengajak salah satu teman saya, sebut saja dia Nino untuk menjadi rival saya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Sampai akhiranya rutinitas sit up yang sudah terjadwal sempat terhenti karena saya menderita demam tinggi sehabis digigit kelabang ketika tidur -_-".

Project sit up ini saya lanjutkan lagi sendirian. Sampai pada suatu hari, ketika saya hadir di pertemuan rutin tim Expos, ternyata pelatih taekwondo saya sedang menjalankan program latihan untuk meningkatkan performa fisiknya. Wah, saya sangat tertarik akan hal ini. Bincang demi bincang, saya diberikan serentetan program latihan yang harus saya lakukan setiap hari. Lari di tempat, jumping jack, squad, adalah beberapa di antaranya. Awal - awal melakukan latihan ini, sungguh rasanya seperti habis melakukan marathon sejauh 9 km. Otot paha dan betis saya tertarik semua, yang membuat saya berjalan agak tertatih. Hari demi hari dilalui dan seri demi seri dijalani, kini badan saya menunjukkan hasilnya. Saya merasa lebih sehat, badan saya lebih ringan, juga yang terpenting adalah perut saya kempis :). Porject ini akan terus saya jalani sampai tepat tanggal 7 April. Perayaan ulang tahun tim bayangan (tim fighter di tim taekwondo saya).

Januari sudah hampir habis, saya ingin menantang diri saya lagi di bulan Februari. Self Project di bulan Februari adalah #FebruariMenulis. Saya akan membuat suatu rutinitas untuk mengasah kembali kemampuan bertutur saya melalui tulisan. Juga sebagai sarana latihan menulis demi sebuah project menulis novel bersama mas Edi (maapkeun mas, belum setor tulisan sampai sekarang -_-)

Terima kasih Januari yang penuh kejutan :)
Mari menyambut kejutan-kejutan berikutnya di Februari.

Rabu, 21 Januari 2015

"Cukup" Untuk Sepotong Siomay

Tiga tahun, ternyata tidak terasa kita sudah terpisah jarak pikiran dan hati. Saya selalu percaya, hati yang sudah bersatu hanya bisa dipisahkan oleh kematian. Seperti hal nya saya dan kamu. Tiga tahun berpisah tidak serta merta menjadikan kita menjadi sosok yang tak saling kenal. Kamu menantang idealisme kamu di sebuah perusahaan multinasional dan terdampar di pinggir Kalimantan. Tempat kamu bebas mencurahkan pikiran, rasa, juga asa tanpa ada batas, karena di sana kamu benar-benar menjadi dirimu sendiri.

Selalu, dengan cara yang tidak biasa. Dengan kemungkinan yang menurutmu tingkat presisinya sangat kecil, Tuhan menyambungkan kembali hati dan pikiran kita, dengan cara yang tidak biasa tentunya. Di malam yang sepi, saya memandang ke tepi jendela kereta api ekonomi menuju Malang. Ketika teman-teman saya terjebak dengan perbincangan tentang Tuhan. Ada pesan singkat yang menarik perhatian saya, menarik pikiran Saya, menarik hati Saya kembali. Ah, sudah lama sekali tidak bertegur sapa. Mendapat sebuah pesan singkat dari seorang sahabat lama rasanya lebih hebat dari sekedar mendapat durian runtuh (sebut saya lebay *sigh).

Ya, one thing lead to another. Perbincangan kita menjadi lebih berkembang. Dari yang awalnya kaku (maklum jedanya agak lama) sampai kemudian bisa cair kembali. Saya merasa kamu kembali, menjadi sosok sahabat saya yang saya kenal dulu. Obrolan demi obrolan membawa kita pada ajakan-ajakan untuk bertemu meskipun malu-malu. Hingga pada akhirnya, kamu kembali ke Bogor dan Saya kebetulan juga harus menghabiskan liburan Saya di sana. Ah, Bogor..tempat saya menemukan keping diri saya yang lain, yang membuat ingatan saya berziarah. 

Kamu, mungkin status sosial kamu sudah banyak berubah sekarang. Jabatan, Wanita yang selalu memujamu, dan Harta yang kini ada di genggaman terkadang membuatmu terlihat seperti orang lain. Saya ragu untuk mengajak kamu kemah, atau menantang kematian memanjat tebing licin di kala hujan, masihkah kamu mau? Berlelah menapak bebatuan, kehujanan, kebasahan tanpa pelindung? Saya sedikit ragu, dan semoga Saya salah tentang ini.

Satu minggu di Bogor tidak membuat Saya leluasa berbincang dengan kamu, karena satu dan lain hal yang membuat kita tidak banyak punya waktu berdua. Di kesempatan yang menurut Saya jarang terjadi, Saya mengajak kamu untuk bertemu di Jakarta, dan tentu saja kamu menolaknya. Bogor terlalu indah dan magis untuk ditinggalkan.
 ***
Selasa, satu hari sebelum ulang tahun kamu, hari yang cerah untuk berbincang. Saya dan kamu menikmati Bogor dari tempat yang agak tinggi. Makan siang, ditemani derasnya aliran sungai. Sambil menatap buku menu, saya sangat tertarik dengan menu-menu yang disajikan, rasanya ingin menyantap semuanya, tapi rasanya tidak mungkin karena perut saya tentu tidak cukup menampung semua makanan itu. 

Terlarut, saya dan kamu dalam obrolan-obrolan remeh temeh dan serius. Bunyi semdok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi musik pengiring perbincangan kita. Persahabatan memang selalu teruji peristiwa dan waktu. Saat berbincang dengan kamu, saya merasa ada yang berubah dari gaya kamu, tapi tidak dengan karakter kamu. Masih corelis-melankolis, narsis, acak-abstrak juga kontemplatif. Sesungguhnya kita lebih bayak diam saat itu. Mengobrol panjang, lalu diam lama..memandangi sungai, juga burung elang yang terbang bebas. Diam bersama kamu selalu beda, rasanya seperti sudah memuntahkan seluruh isi perut, tanpa perlu banyak kata.

***

Jeda panjang kita pada akhirnya dipecahkan oleh sebuah keinginan untuk mengunyah kembali. Maka kita sepakat untuk memesan makanan kembali. Kamu memilih siomay dan yoghurt, dan saya memilih pisang goreng. Sungguh, menu-menu yang tersaji sangat menarik, rasanya ingin mencoba semuanya. Tapi, lagi-lagi perut saya tentu tidak cukup untuk menampung semua itu. Kamu, seperti biasa hanya lapar mata.

Saya melahap pisang goreng saya dengan nikmat yang sama ketika saya menyantap sup iga. Tapi kamu, menyantap siomay dengan nikmat yang terpaksa. Sebenarnya kamu sudah merasa cukup, tapi gambar siomay di buku menu memang sungguh menggoda.

Mengingat satu dari lima siomay yang tersisa, di mana 3 siomay lainnya adalah saya yang memakannya, kita berhenti pada satu kata "cukup"sudah kenyang. Harus ada kata "cukup". Jika kita hidup untuk makan, akan banyak sekali menu-menu menggoda yang hadir di depan mata, dan selalu menggoda untuk diicip. Entah dari mana asalnya, perut dan pikiran kita selalu memilih menu terbaik untuk dimasukkan ke perut dan memuaskan pikiran. Untuk menu-menu menggoda yang lainnya, kita bisa bilang "cukup" saya sudah kenyang, Alhamdulillah.

Sama seperti siomay yang pada akhirnya tersisa. Hidup kita, hati kita juga punya kapasitasnya sendiri. Mungkin akan tiba waktunya kamu akan berkata "cukup" untuk tawaran-tawaran yang menggiurkan, untuk godaan-godaan yang datang. Bukan karena kamu tidak suka akan kemilaunya, tapi karena kamu sudah merasa "cukup" dengan apa yang kamu punya. Memilikinya berlebihan tidak akan membuat kamu bahagia. Sama seperti menghabiskan satu siomay yang tersisa hanya akan membuat perutmu begah. Biarkan ia tersisa, karena perut dan pikiranmu berkata, ini sudah "cukup", meskipun sebagai manusia yang memiliki otak komodo kita tidak akan pernah merasa cukup.

Nicholas Saputra, dalam perannya sebagai Yusuf di Film 3 Hari Untuk Selamanya (you have to watch this movie) ada potongan dialognya begini "..........saat usia kita menginjak angka 27 dan 29 kita akan mengambil keputusan penting dalam hidup kita yang akan merubah diri kita......"
Mudah-mudahan di usia kamu yang sekarang dan nanti kamu bisa terus mengambil keputusan-keputusan penting tersebut. Bisa mengatakan "cukup" untuk petualangan mencari "the one". Berani jujur pada diri kamu sendiri, dan berkata "cukup" untuk hal-hal yang membuat kamu tergoda. Cukup bilang.  "alhamdulilah, saya sudah kenyang".

Terima kasih untuk waktu luangnya. Entah harus menunggu berapa tahun lagi untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Semoga nanti, ketika kita bertemu kembali, kamu sudah punya jawaban dan tahu kapan waktunya bilang "cukup", dan meninggalkan yang tersisa.






Minggu, 04 Januari 2015

Mengingat Anicca, Dukkha, Anatta

"Apakah kamu pernah menangis"

Ini adalah salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh user, tempat saya melamar pekerjaan. Cukup lama saya terdiam, dan tidak selancar menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya. Karena sungguh, bagi saya itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Pernahkah? Pasti saya pernah menangis. Kapan dan karena apa? Saya tidak mengingat detail. Saya hanya ingat, saya pasti menangis jika ada masalah di keluarga saya, atau ketika saya berpisah dengan teman hidup saya. Itu pun, bukan peristiwa yang sering terjadi. Karena film? Tidak, tugas yang berat? Tidak, kematian? rasanya tidak.

Tidak menangis bukan berarti saya tidak sedih. Kehilangan, ada rasa sedih? pasti. Tapi saya memilih untuk tidak menangis. Saya hanya ingat satu quote yang saya tidak ingat sumbernya, kira-kira bunyinya begini "Nasib buruk mungkin tidak bisa kita hindari, tapi merasa sedih adalah sebuah pilihan."

Tahun 2014 adalah tahun kemelakatan bagi saya. Loh? Kenapa jadi bahas tentang kemelekatan? Karena rasa sedih dan bahagia pun bersumber dari sana.
Selepas bertugas di Tulang Bawang Barat, ada banyak sekali mimpi-mimpi dan rencana yang ingin saya jalani. Ada juga rasa rindu yang tertahan untuk bertemu dengan lelaki yang harumnya seperti rumah. Saya begitu menggantungkan hidup pada hal-hal ini. Ada juga rencana untuk menjajaki hubungan yang lebih serius, pun ini menjadi dasar saya untuk mengambil keputusan yang lain. Saya begitu melekat padanya, pada dia yang harumnya seperti rumah, pada rencana dan mimpi-mimpi. Hingga pada nyatanya, justru Saya menjadi takut untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti ketika saya ada tawaran untuk bekerja di luar pulau, saya jadi takut untuk menerimanya, takut apabila hubungan jarak jauh yang akan dijalani justru menjadi penghalang bagi rencana besar bersama. Ketakutan ini semakin menumpuk, dan tanpa disadari justru berefek negatif. Otak komodo saya tidak terpuaskan karena keinginan saya tidak tercapai, juga tertekan oleh rasa takut. Efeknya? Saya seperti hilang arah, tidak tahu harus ambil keputusan apa.

Sampai pada akhirnya Saya kembali "pulang" pada rumah saya, "Tim Expos" tempat saya bisa melepas juga mengendalikan otak komodo dan kancil saya yang begitu liar. Saya mengaktifkan kembali radar-radar kesadaran saya. Mengaktifkan kembali kepekaan untuk bersyukur. Perlahan, Saya mulai membaik.

Tuhan yang maha baik juga mengingatkan saya untuk tidak melekat. Selain belum mendapatkan tempat belajar yang cocok bagi saya, di tahun 2014 saya kehilangan seluruh memori dalam hard disk laptop saya, saya kehilangan sosok yang harumnya seperti rumah, saya juga merasa kehilangan beberapa jejak jejak penting yang sudah pernah saya toreh. Ya, di saat itu saya terhempas....saya merasa sendirian, berada di titik nadir.

Tapi percayalah, Tuhan sungguh adil. Di Tahun 2014 juga saya bertemu dengan orang-orang hebat. Hubungan persahabatan saya dengan Faris dan Dina juga semakin baik. Kami bisa berteman layaknya orang biasa yang tidak pernah berkonflik sebelumnya. Saya berkenalan dengan Mas Edi Dimyati yang ternyata beliau adalah aktivis rumah baca, penulis buku dan pecinta museum. Teman-teman di Kelas Inspirasi, SabangMerauke, dan sahabat-sahabat lainnya yang begitu menginspirasi saya.

Mungkin hal-hal yang bersifat bendawi (partner, hard disk, pekerjaan) seakan menjauh dari saya. Akan tetapi, saya justru mendapatkan kelimpahan yang tiada tara dengan hadirnya sahabat-sahabat hati, yang membuka ruang-ruang inspirasi. Rasanya hati saya terbuka begitu lebar saat ini. Siap untuk menampung apa saja.

Teringat dengan obrolan bersama Mas Pras saat di berboncengan di motor, kami berdua menelusuri jalan sepi dari Kebagusan menuju Bekasi. Mas Pras cerita, ada tiga hal yang dipegang oleh para buddhis, yaitu Anicca (Tidak Kekal), Dukkha (Penderitaan) dan Anatta (Tiada Diri). Lebih lengkapnya bisa di baca Di sini.

Mungkin, ketiga tanda keberadaan atau kemelakatan tersebut hadir untuk menjadi pengingat saya. Membuat saya menoleh sejenak dan merefleksikan hal-hal tersebut pada diri saya. Bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, baik suka ataupun duka. Pun, memang semua yang ada di dunia hanyalah titipan, terlalu melekat membuat kita takut kehilangan, padahal niscayanya, segala hal bendawi hanyalah sebentuk titipan yang harus kita jaga. Jika sewaktu waktu sang Empunya ingin mengambil miliknya, seharusnya dengan ikhlas kita mengembalikannya bukan?

Sebagai catatan di awal tahun, saya menuliskan tujuan-tujuan serta mimpi-mimpi yang ingin saya capai di tahun 2015. Tapi kali ini dengan perasaan jauh lebih ikhlas, karena menyadari bahwa tidak ada yang abadi selain keabadian itu sendiri, tidak ada yang pasti selain ketidakpatian itu sendiri, dan segala hal yang saya terima, hanyalah sebuah titipan. Jadi? kenapa harus gelisah dan menjalani hidup penuh kekhawatiran?

Khawatir atau tidak, gelisah atau tenang adalah sebuah pilihan, baik memilih salah satu ataupun keduanya, hidup tetap harus berjalan. Jadi, kenapa harus memilih jalan yang pelik?

Di awal tahun ini saya sungguh bersyukur atas hal-hal yang saya terima di tahun sebelumnya, di tahun ini, juga tahun-tahun yang akan datang. 

Jadi, Apakah saya pernah menangis?tentu pernah...karena sedih?sedikit, lebih sering karena bahagia yang tertampung.


If everything has been written down, so why worry? 
-Dee, Grew a day older-