Minggu, 04 Januari 2015

Mengingat Anicca, Dukkha, Anatta

"Apakah kamu pernah menangis"

Ini adalah salah satu dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh user, tempat saya melamar pekerjaan. Cukup lama saya terdiam, dan tidak selancar menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya. Karena sungguh, bagi saya itu adalah pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Pernahkah? Pasti saya pernah menangis. Kapan dan karena apa? Saya tidak mengingat detail. Saya hanya ingat, saya pasti menangis jika ada masalah di keluarga saya, atau ketika saya berpisah dengan teman hidup saya. Itu pun, bukan peristiwa yang sering terjadi. Karena film? Tidak, tugas yang berat? Tidak, kematian? rasanya tidak.

Tidak menangis bukan berarti saya tidak sedih. Kehilangan, ada rasa sedih? pasti. Tapi saya memilih untuk tidak menangis. Saya hanya ingat satu quote yang saya tidak ingat sumbernya, kira-kira bunyinya begini "Nasib buruk mungkin tidak bisa kita hindari, tapi merasa sedih adalah sebuah pilihan."

Tahun 2014 adalah tahun kemelakatan bagi saya. Loh? Kenapa jadi bahas tentang kemelekatan? Karena rasa sedih dan bahagia pun bersumber dari sana.
Selepas bertugas di Tulang Bawang Barat, ada banyak sekali mimpi-mimpi dan rencana yang ingin saya jalani. Ada juga rasa rindu yang tertahan untuk bertemu dengan lelaki yang harumnya seperti rumah. Saya begitu menggantungkan hidup pada hal-hal ini. Ada juga rencana untuk menjajaki hubungan yang lebih serius, pun ini menjadi dasar saya untuk mengambil keputusan yang lain. Saya begitu melekat padanya, pada dia yang harumnya seperti rumah, pada rencana dan mimpi-mimpi. Hingga pada nyatanya, justru Saya menjadi takut untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti ketika saya ada tawaran untuk bekerja di luar pulau, saya jadi takut untuk menerimanya, takut apabila hubungan jarak jauh yang akan dijalani justru menjadi penghalang bagi rencana besar bersama. Ketakutan ini semakin menumpuk, dan tanpa disadari justru berefek negatif. Otak komodo saya tidak terpuaskan karena keinginan saya tidak tercapai, juga tertekan oleh rasa takut. Efeknya? Saya seperti hilang arah, tidak tahu harus ambil keputusan apa.

Sampai pada akhirnya Saya kembali "pulang" pada rumah saya, "Tim Expos" tempat saya bisa melepas juga mengendalikan otak komodo dan kancil saya yang begitu liar. Saya mengaktifkan kembali radar-radar kesadaran saya. Mengaktifkan kembali kepekaan untuk bersyukur. Perlahan, Saya mulai membaik.

Tuhan yang maha baik juga mengingatkan saya untuk tidak melekat. Selain belum mendapatkan tempat belajar yang cocok bagi saya, di tahun 2014 saya kehilangan seluruh memori dalam hard disk laptop saya, saya kehilangan sosok yang harumnya seperti rumah, saya juga merasa kehilangan beberapa jejak jejak penting yang sudah pernah saya toreh. Ya, di saat itu saya terhempas....saya merasa sendirian, berada di titik nadir.

Tapi percayalah, Tuhan sungguh adil. Di Tahun 2014 juga saya bertemu dengan orang-orang hebat. Hubungan persahabatan saya dengan Faris dan Dina juga semakin baik. Kami bisa berteman layaknya orang biasa yang tidak pernah berkonflik sebelumnya. Saya berkenalan dengan Mas Edi Dimyati yang ternyata beliau adalah aktivis rumah baca, penulis buku dan pecinta museum. Teman-teman di Kelas Inspirasi, SabangMerauke, dan sahabat-sahabat lainnya yang begitu menginspirasi saya.

Mungkin hal-hal yang bersifat bendawi (partner, hard disk, pekerjaan) seakan menjauh dari saya. Akan tetapi, saya justru mendapatkan kelimpahan yang tiada tara dengan hadirnya sahabat-sahabat hati, yang membuka ruang-ruang inspirasi. Rasanya hati saya terbuka begitu lebar saat ini. Siap untuk menampung apa saja.

Teringat dengan obrolan bersama Mas Pras saat di berboncengan di motor, kami berdua menelusuri jalan sepi dari Kebagusan menuju Bekasi. Mas Pras cerita, ada tiga hal yang dipegang oleh para buddhis, yaitu Anicca (Tidak Kekal), Dukkha (Penderitaan) dan Anatta (Tiada Diri). Lebih lengkapnya bisa di baca Di sini.

Mungkin, ketiga tanda keberadaan atau kemelakatan tersebut hadir untuk menjadi pengingat saya. Membuat saya menoleh sejenak dan merefleksikan hal-hal tersebut pada diri saya. Bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, baik suka ataupun duka. Pun, memang semua yang ada di dunia hanyalah titipan, terlalu melekat membuat kita takut kehilangan, padahal niscayanya, segala hal bendawi hanyalah sebentuk titipan yang harus kita jaga. Jika sewaktu waktu sang Empunya ingin mengambil miliknya, seharusnya dengan ikhlas kita mengembalikannya bukan?

Sebagai catatan di awal tahun, saya menuliskan tujuan-tujuan serta mimpi-mimpi yang ingin saya capai di tahun 2015. Tapi kali ini dengan perasaan jauh lebih ikhlas, karena menyadari bahwa tidak ada yang abadi selain keabadian itu sendiri, tidak ada yang pasti selain ketidakpatian itu sendiri, dan segala hal yang saya terima, hanyalah sebuah titipan. Jadi? kenapa harus gelisah dan menjalani hidup penuh kekhawatiran?

Khawatir atau tidak, gelisah atau tenang adalah sebuah pilihan, baik memilih salah satu ataupun keduanya, hidup tetap harus berjalan. Jadi, kenapa harus memilih jalan yang pelik?

Di awal tahun ini saya sungguh bersyukur atas hal-hal yang saya terima di tahun sebelumnya, di tahun ini, juga tahun-tahun yang akan datang. 

Jadi, Apakah saya pernah menangis?tentu pernah...karena sedih?sedikit, lebih sering karena bahagia yang tertampung.


If everything has been written down, so why worry? 
-Dee, Grew a day older-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar